BAB
10 : KULTUR PERADABAN BANGSA INDONESIA
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang
lebih luas dari istilah “budaya” yang populer dalam kalangan akademis. Dimana
setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan
sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan
kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat. Namun,
dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah
deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban
dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan
beragam kegiatan ekonomi dan budaya.(http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban)
Dalam buku Sistem
Sosial Budaya Indonesia oelh Prof. Harry Yuswadi ini, Budaya peradaban diartikan
sebagai kebiasaan-kebiasaan bersikap atau juga dapat diartikan sebagai
penyikapan terhadap sesuatu secara beradab (civilized).
Konsep peradaban yang ada di sini lebih menekankan pada the rise cognition, daripada yang disarankan oleh Elias (1939a)
yang hanya bertumpu pada the triumph of
rationality over religion, the decline of local, particular customs, and the
rise of natural sciences. Tinjauan tentang budaya peradaban bangsa selalu
didekatkan dengan sejarah budaya politik di dalam kerangka paradigm Sosiologi
Pengetahuan.
Seperti yang konsep
peradaban di atas, bahwa system budaya Indonesia terbentuk secara cultural yang
berabad-abad lamanya. System budaya adalah abstraksi simbolis dari aksi social
yang berlangsung terus menerus, sehingga fungsi-fungsi kognisi dan intelejensi
dipengaruhi oleh kesadaran kolektif komunitas bersangkutan. Kebanyakan orang
tidak akan mengalami atau merasakan kejanggalan manakala itu sudah menjadi
sesuatu yang sudah terkonstruk dalam mind set mereka.
Banyak fenomen-fenomena
social yang menjadi fakta social yang hadir di depan mata kita yang seolah-olah
menjadi kebiasaan bangsa Indonesia. Salah satu contoh yang kerapkali terjadi
adalah perilaku kampanye Pemilu dan unjuk rasa. Kumpulan masa dalam perilaku
kampanye ini tidak termasuk konsep crowd, karena kampanye dan unjuk rasa memiliki
sasaran yang jelas dan memiliki struktur organisasi yang juga jelas,
setidak-tidaknya memilki ketua atau pemimpin kelompok yang diakui dan bertugas
untuk mengkoordinasikan anggotanya dan mengontrol semua perilaku anggotanya
agar tidak terjadi lost of control.
Dari fenomena-fenomena
social yang ada, tidak dipungkiri bahwa peradaban bangsa Indonesia ini telah
tercemari oleh peradaban bangsa Barat. Internalisasi budaya peradaban penjajah
masuk melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh penjajah dahulu kala. Saya
setuju dengan yang disampaikan oleh Prof. Harry yang menyatakan bahwa format
budaya peradaban itu terbentuk akibat penjajahan Belanda Indonesia berbeda
dengan Negara tetangga kita (Malaysia dan Singapura) yang notabenenya bekas
jajhan Inggris. Malaysia dan Singapura boleh dikatakan jauh “lebih memilki”
budaya peradaban dibandingkan dengan Indonesia yang “belum memiliki” budaya
peradaban.
Kita sebagai mahasiswa
yang memiliki peran ganda yaitu agent of
change dan agent of control
seharusnya melahirkan solusi-solusi yang bisa membawa Indonesia menjadi bangsa
yang benar-benar memilki budaya peradaban sehingga menjadi bangsa Indonesia
yang beradab sesuai dengan cita-cita Negara yang termaktub dalam sila Pancasila
kedua yang berbunyi, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara
sosiologis, kelompok muda adalah kelompok dengan tingkat mobilitas tinggi dan
menjadi penggerak perubahan karena relatif minimnya kepentingan praktis yang
dimiliki. Dengan melihat rumitnya problem kebangsaan yang kita hadapi saat ini,
sebagai anak bangsa dan anak ummat pemuda dihadapkan pada tanggung
jawab sejarah mewujudkan masa depan yang lebih baik dengan salah satu syaratnya
mampu mendamaikan dan menghentikan segala persoalan yang ada.
BAB
11 : INVOLUSI BANGSA INDONESIA
Sepert
yang dijelaskan dalam buku SSBI Karya Prof Harry, bahwa konsep involusi ini
meminjam istilah dan konsep dari Clifforrd Geertz (1976) ketika menjelaskan
involusi pertanian di Pulau Jawa. Apa yang dijelaskan dalam konsep tersebut,
saya menangkap bahwa konsep Involusi ini lebih gampangnya bisa dikatakan
sebagai sesuatu yang ruwet. Berangkat saya juga sependapat dengan apa yang
dijelaskan oleh Prof. Harry, bahwa berangkat dari keruwetan tersebut, bangsa
Indonesia ini mengalami involusi yang sangat kritis. Bangsa Indonesia
seolah-olah berada dalam sebuah benang yang ruwet dan untuk keluar dari situ,
bnagsa kita sednag mengalami kesulitan. Seolah-olah bangsa Indonesia ini tidak
tahu arah jalan sehingga tersesat dalam sebuah budaya Peradaban.
Tidak hanya dalam masalah keruwetan
peradaban, ternyata Indonesia juga mengalami keruwetan dalam masalah politik.
Indonesia benar-benar berada dalam situasi yang mengalami kemadegan atau dalam
istilah Clifford Geertz disebut sebagai “involusi politik”. Sorensen (1993) menggambarkan 4
indikator yang mendasari beroperasinya demokrasi beku yang sangat relevan untuk
digunakan sebagai instrument dalam memahami perkembangan politik di Indonesia,
indicator demokrasi tersebut meliputi: 1). Instabilitas ekonomi ditingkat
nasional maupun tingkat local; 2). Mandegnya proses pembentukan masyarakat
warga (civil society); 3). Konsolidasi social politik tidak pernah mencapai
soliditas, cenderung bersifat semu; 4). Penyelesaian masalah-masalah social
politik dan hukum tidak pernah tuntas. (http:
//www.berpolitik.com)
Jika dilihat
dari indikator yang ditawarkan oleh Sorensen di atas, dalam rangka mengukur perkembangan
demokratisasi, tidak diragukan apabila dikatakan bahwa masyarakat indonesia
sedang berada dalam suatu fase demokrasi beku. Hal ini semakin diperparah
dengan kenyataan bahwa, konsolidasi sosial-politik juga masih berjalan
tersendat-sendat, baik ditingkat elit naisonal maupun lokal (eksekutif maupun legislatif), juga pelaku politik yang
mewakili masyarakat akar rumput. Nampak elite politik masih sekedar
memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok, sedang masyarakat lapis bawah
cenderung apatis terhadap sistem kepemimpinan sehingga mereka tidak jarang
berbuat diluar koridor hukum.
Hal inilah yang menjadi problem yang dihadapi bangsa
Indonesia yang saya kira semakin kritis dan semakin berinvolusi semakin dalam. Demonstrasi,
protes, dan gerakan-gerakan sosial dari skala paling persuasif hingga kekerasan
diluar batas kewajaran dan pelanggaran hukum merupakan warna kehidupan
masyarakat saat ini. Sangat disayangkan kecenderungan menguatnya masyarakat
tidak dibarengi dengan ketertiban sosial atau keberadaban masyarakat
(civility), masyarakat telah keliru memaknai demokrasi. Pada hal demokrasi
bukan tujuan suatu bangsa tetapi sekedar menjadi instrumen untuk mencapai
kesejateraan dan keadilan sosial.
Saat ini bangsa indonesia tengah berada
dalam era transisi demokrasasi, suatu era dimana negara menjadi rentan terhadap
kekacauan sosial. Huntington menyatakan bahwa, jika partisipasi masyarakat
tiba-tiba meledak sementara tidak diimbangi dengan kesiapan intitusi-institusi
negara, maka yang terjadi adalah instabilitas politik (Budiman, 2001) persis
sepertri yang terjadi di Indonesai saat
ini.
Bangsa Indonesia ke depan harus bisa
menghindarkan terjadinya involusi yang semakin ruwet dan kritis tersebut.
Menjadi bangsa Indonesia yang tangguh dan dinamis untuk bisa keluar dari
lingkaran keruwetan. Usaha-usaha bangsa Indonesia ini harus disertai dengan
pembentukan masyarakat warga yang dibarengi ketertiban social dan keberadaban
masyarakat.
Evolusi saat ini memang sangat dibutuhkan dan dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia agar mampu keluar dari involusi atau keruwetan ini. Dengan besarnya
komplekstisitas persoalan kebangsaan yang sedang dihadapi bangsa dan tanah air kita ini, maka tidak
ada jalan lain untuk mengurai kusut persoalan ini kecuali berupaya merangkul
semua kelompok, tokoh dan elemen bangsa untuk mewujudnya konsolidasi nasional,
baru kemudian berpikir tentang kesejateraan dan mewujudkan sebuah evolusi peradaban agar kelak
Indonesia ini benar-benar menjadi bangsa yang beradab.
BAB
12 : BUDAYA KEMISKINAN DAN KEMISKINAN BUDAYA
Fenomena kemiskinan
yang terjadi di sekitar kita barangkali membuka pikiran kita dan memunculkan
pertanyaan “apa sih yang menjadi factor miskin?”. Sebelum membahas permasalahan
tersebut, saya ingin menjelalaskan konsep kemiskinan. Kemiskinan seperti
diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan
harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang.
Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok
orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana
layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat
kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan
berinteraksidengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang
mendasar (makan minum,berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan
lain sebagainya).
Dalam buku Sistem
Sosial Budaya Indonesia yang ditulis oleh Prof. Harry, kemiskinan seolah-olah
menjadi bagian dari proses kehidupan orang-orang yang miskin. Jadi miskin
disebabkan karena memang miskin. Selanjutnya kemiskinan itu sebenarnya memiliki
suatu dinamika yang dapat menciptakan sub kultur sendiri, yang biasanya muncul
dalam suatu masyarakat yang system social ekonominya secara keseluruhan
terlibat dalam proses transformasi menuju system kapitalistis.
Saya setuju dengan
pendapat di atas, tetapi disini juga menambahkan menurut saya bahwasannya
kemiskinan bisa terjadi karena adanya ketidakadilan di masyarakat yang dapat
mengganggu rasa kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak adil dalam
perlakuan/pemerataan sehingga ada masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai hal
yang berakibat pada pertentangan dan perpecahan. Pola kekuasaan yang ada
memungkinkan sebagian kecil atau sekelompok individu merasa dapat perlakuan
yang tidak adil dan kesempatan yang sama memperoleh asset dan akses untuk berkembang,
berpotensi pada terbentuknya kelompok minoritas yang merasa miskin karena proses
pemiskinan yang berlangsung.
Kelompok seperti ini
akan menjadi akar di masyarakat yang berperilaku menyimpang sehingga terjadilah
penentangan dan konflik dengan dampak yang lebih luas, yaitu disintegrasi
masyarakat. Sebaliknya gejala terjadinya disintegrasi di masyarakat dengan
memudarnya kebersamaan dan rasa persatuan diantara sesama warga masyarakat
memberi ciri pada melemahnya pola interaksi sosial, menghilangnya rasa kebersamaan
diantara sesama warga hilangnya rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak
ketidakadilan dan berlangsungnya proses pemiskinan dikalangan warga masyarakat.
Pembicaraan tentang
teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan kemiskinan, sampai kini masih
dapat digunakan pemikiran teori dari Oscar Lewis. Teori-teori lain yang
berkembang dan dikembangkan oleh para ahlinya, lebih banyak menyatakan bahwa
kemiskinan adalah dampak dari masalah kependudukan khususnya migrasi desa-kota
yang tidak terkendali. Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan terbentuk dari
suatu situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin
dan tidak miskin. Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah kategorisasi
dengan ciri-ciri khusus, dan
juga
dampak yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut.
Kebudayaan kemiskinan merupakan adaptasi dan
penyesuaian oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan
untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap mereka lebih banyak
terbatas pada orientasi kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis, dan
sempitnya pada perancanaan masa depan. Sehingga yang mempunyai kemungkinan
besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang
berstratarendah, mengalami perubahan social yang drastis yang ditunjukkan oleh
ciri-ciri :
1. Kurang
efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-lembaga utama
masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis
dan perpecahan;
2. Pada
tingkat komunitas local secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh,
penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga inti
dan keluarga luas;
3. Pada
tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya
angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal
dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaaknya;
4. Pada
tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak
berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri;
5. Tingginya
(rasa) tingkat kesengsaraan, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri
dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal
menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna,
tingginya anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit
kejiwaan lainnya;
Kebudayaan kemiskinan
juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya, mereka hanya mengetahui
kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup
mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap
perbedaan-perbedaan status. (dikutip dari
Jurnal Budaya Kemiskinan di Masyarakat Tinjauan
Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat, Ketut
Sudhana Astika, Jurnal Ilmiah Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar