materi kuliahhh


PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH
MENUJU GOOD GOVERNANCE
(The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance)
Disampaikan dalam Workshop Reformasi Birokrasi pada tanggal 30 Juni 2006 di Kendari
Oleh : H. R. Riyadi Soeprapto

Otonomi Daerah, Good Governance Dan Capacity Building
Secara konseptual, perspektif politik desentralisasi (political desentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Rondinelli (1983) dan banyak pakar lain merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsipil dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).
Devolusi sendiri dimaknai sebagai bentuk desentralisasi yang paling utuh di mana konsep ini adalah bentuk pembebasan sekaligus pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintah di luar kontrol wewenang pusat. Mawhood (1987) mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), akuntabilitas pemerintah lokal (local accountability) dan pertanggungjawaban pemerintah lokal (local responsibility). Ketiga tujuan ini saling berkait satu sama lain. Sedangkan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power), memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri (local own income), memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas.
Lebih tegas lagi Mawhood (1987: 14) memberikan karakteristik desentralisasi sebagai : a decentralized local body should have: 1) its own budget, 2) a separate legal existence, 3) authority to allocate substantial resources, 4) a range of different function, and 5) the decisions being made by representatives of the local people. Pada hakekatnya konsep otonomi daerah atau desentralisasi mengandung arti kebebasan untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administrasi, menurut prakarsa sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan Nasional.
Rondinelli (1983 :93) memberikan makna desentralisasi secara lebih komprehensif sebagai :
the transfer or delegation of legal and political authority to plan, make decisions and manage public function from the central government and its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, autonomous public corporations, area wide or regional development authorities: functional authorities, autonomous local governments, or non-governmental organizations.
Dari sisi lain Lemieux (1988:34) mengutarakan otonomi daerah sebagai suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik, keputusan administrasi dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Jadi otonomi daerah yang tepat bukan hanya sekedar reorientasi paradigma self local government menjadi self local governance tetapi harus ditindaklanjuti dengan restrukturisasi pelaksanaan otonomi daerah yang sarat dengan nilai kebebasan (liberty), partisipasi (participation), demokrasi (democracy), akuntabilitas (accountability) (Kingsley, 1996:3).
Rondinelli (1983:212) mengemukakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi derajat otonomi daerah yaitu :
1) the degree to which central political leaders and bureaucrats support decentralization and the organization to which responsibilities are transferred, 2) the degree to which the dominant behaviour, attitudes, and culture are conducive to decentralized decision making and administration, 3) the degree to which policies and programs are appropriately designed and organized to promote decentralized decision making and management, and 4) the degree to which adequate financial, human and physical resources are made available to the organization to which responsibilities are transferred
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa derajat otonomi dapat tergantung pada : 1) derajat di mana kepemimpinan politik pusat, dukungan desentralisasi, birokrat, dan organisasi di mana terjadi transfer tanggung jawab; 2) derajat di mana perilaku dominan, sikap, dan kebudayaan kondusif terhadap pembuatan keputusan terdesentralisasi dan administrasi; 3) derajat di mana kebijakan-kebijakan dan program-program direncanakan dan diorganisasikan dengan tepat untuk mempromosikan pembuatan keputusan terdesentralisasi dan manajemen; 4) derajat kecukupan dana, manusia, dan sumber daya fisik dibuat dan tersedia untuk organisasi di mana tanggung jawab ditransfer.
Kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam UU No. 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan akan lebih memberi peluang terjadinya perubahan kepemerintahan yang baik (good governance) di daerah.
PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Merujuk United Nations Development Programme (UNDP) (1997: 19) dalam paper pertamanya disebutkan karakteristik sistem kepemerintahan yang baik (the characteristics of good system of governance) yaitu; "legitimacy, freedom of association and participation and freedom of the media, fair and established legal frameworks that are enforced impartially, bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid information, effective and efficient public sector management, and cooperation between governments civil society organizations”. Selanjutnya UNDP, seperti dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengajukan kembali prinsip-prinsip good governance sebagai berikut:
1) Participation; setiap warga negara memiliki suara dalam pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui mediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya, 2) Rule of Law; aturan hukum, keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha yang menyangkut masyarakat dilakukan berdasarkan hukum, 3) Transparency; transparansi yaitu kebebasan arus informasi; dapat diketahui, dimonitor oleh banyak pihak mengenai kebijakan, proses-proses lembaga organisasi pemerintah, 4) Responsiveness; lembaga-Iembaga pemerintah harus tanggap, responsif terhadap kepentingan stakeholder-nya, 5) Concensus orientation; berorientasi pada kesepakatan yakni bisa menjadi perantara bagi kepentingan yang berbeda sebagai cara mencari alternatif terbaik dan membela kepentingan yang lebih luas, 6) Equity; kesetaraan, semua warga negara laki-Iaki maupun perempuan, tanpa memandang status miskin-kaya, memiliki peluang yang sama dalam mendapatkan kesejahteraan, 7) Effectiveness and efficiency; setiap proses kegiatan, aktifitas lembaga pemerintah dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan garis yang ditetapkan, 8) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab pada publik dan lembaga stakeholdernya, 9) Strategic vision; visi strategis, para pemimpin dan publik harus memiliki perspektif good governance dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke depan sesuai keperIuan pembangunan.
Jadi, good governance pada esensinya merupakan pemerintahan yang efektif dan modern, yakni suatu pemerintahan yang demokratik (demokratic governance) yang elemen utamanya partisipasi masyarakat (Goffrey R. Njeru, 2000:213). Sementara desentralisasi-otonomi, kalau merujuk perkembangan pustaka-pustaka terakhir, cenderung diisyaratkan sebagai basis bagi kepemerintahan yang baik (good governance).
Sebenarnya kalau dicermati paradigma good governance yang berkembang sekarang ini merupakan trend global dan tuntutan dalam sistem politik yang demokratis. Dalam teori dan praktek pemerintahan modern diajarkan bahwa untuk menciptakan the good governance, terIebih dahulu perIu dilakukan desentralisasi pemerintahan. lni searah dengan problematika yang dihadapi negara sedang berkembang seperti Indonesia, yang masih disibukkan dengan agenda transisi demokrasi seperti; pemisahan kekuasaan diantara lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif; pembagian kekuasaan diantara pemerintah pusat, regional dan lokal; pemisahanan kekuasaan atau kewenangan antara negara dan masyarakat, dan pemisahan antara hak individu dan kekuasaan komunal, yang semuanya itu bermuara pada inisiatif otonomi.
Terlepas dari kekhawatiran akan kelemahan yang masih ada, pelaksanaan otonomi yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal memungkinkan terlahirnya pemerintahan daerah yang demokratis dalam rangka menuju pemerintahan yang baik (good governance). Dalam definisi umum sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu, pada dasarnya kita akan menemukan sekurang-kurangnya sepuluh komponen utama yang sering dihubungkan dengan istilah good governance, yakni; good governance is helpful, good governance depend on concent, good governance is open, good governance is accountable, good governance gives value for money, good governance is responsive, good governance is fair, good governance offers information, good governance observers standards, good governance observers right. Dari pengertian umum ini nampak bahwa good governance berorientasi pada;

Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yakni nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak masyarakat, yang dapat meningkatkan kemandirian rakyat dalam pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti legitimacy (apakah pemerintahan mendapat kepercayaan rakyatnya), accountability, scuring of human right, autonomi and devolution of power dan assurance of civilian control (LAN,2000:6).
Kedua, orientasi pada aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk tujuan-tujuan tersebut. Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, serta bagaimana agar struktur dan tatanan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dalam penyelenggaraan capacity building, orientasi-orientasi tersebut sangat berkaitan dengan dimensi reformasi kelembagaan pemerintah. Menurut Stephen E. Cornell dan Joseph P. Kalt (dalam Grindle, 1997;263-265); untuk kemajuan apapun seperti pencapaian progres ekonomi-sosial, institusi yang kaya investasi dan saving, yang menghargai spesialisasi, menjunjung tinggi hak dan cara permufakatan, semata hanya mereka yang lulus uji effektifitas dan legitimasi, (that to be productive of economic progress and social health, the formal institution of government that undergird process of savings and investment, specialization and exchange, and right enforcement and dispute resolution must pass tests of both effectiveness and legitimacy). Teori kontrak-sosial baru (membahas konsep “social capital”, “norm”, “political culture”) mengisyaratkan bahwa lembaga pemerintah yang efektif -karena atribusi kolektifitas dan muatan kekuasaan politiknya-, perlu membutuhkan keselarasan dengan empat norma-norma kebenaran politis masyarakat seperti; Struktur kewenangan (structure of authority), Lingkup kewenangan (scope of authority), Letak kewenangan (location of authority), dan Sumber kewenangan (source of authority), (Kalt, dalam Grindle, 1997:263-265).
Kalau kita menengok pengalaman masa lalu negara kita, karena tingginya tuntutan dan harapan terhadap peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan, pemegang kekuasaan selalu beranggapan tidak terdapat alternatif yang lebih baik untuk mendatangkan kesejahteraan selain dengan cara meredam dinamika politik yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat kemudian harus menerima kenyataan meningkatnya structure of authority dan scope of authority dalam lembaga birokrasi pemerintah. Misalnya, bila dikaitkan dengan tujuan desentralisasi secara teoritik, 'tampak bila pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih menonjolkan pada tujuan administratif (birokrasi), yakni bertendensi pada penyelesaian tugas dan kewajiban pemerintah pusat agar lebih efisien, dari pada tujuan politis (demokrasi) yang memberi peluang pendidikan politik bagi semua rakyat dan sebagai arena bagi politisi lokal untuk berkiprah di tingkat nasional. Hal seperti inilah yang menyebabkan upaya penegakan local good governance, yang dicirikan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntable, transparan dan partisipatif, dalam pelaksanaan otonomi daerah dari tahun ke tahun belum mengangkat isu dan permasalahan riil mengenai pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance) tersebut.
Bila kita tengok pengalaman negara-negara lain yang pernah mengalami transisi, secara empiris negara-negara industri baru di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura atau bahkan China yang sekarang ini sedang menggeliat, tahap-tahap awal pembangunannya memang diwarnai oleh kuatnya peranan birokrasi pemerintah. Meski demikian perkembangan ekonomi yang pesat dan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk kemudian ikut andil dalam memunculkan kesadaran rakyat yang ditandai dengan semakin berkembangnya iklim demokrasi politik di negara-negara tersebut. Persoalannya bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Pada dasarnya good governance sebagai alat analisis dan capacity building sebagai alat aksi sesungguhnya sangat berhubungan dengan upaya “downsizing” peran (role) dan cakupan pemerintahan di satu sisi dan pada sisi lain dengan usaha meningkatkan peran dan cakupan 'pasar' (market) sebagai cara utama atau mungkin satu-satunya alternatif untuk meningkatkan kemajuan negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, atau yang secara spesifik diartikan sebagai kemajuan atau pertumbuhan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Ini berarti, konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan nilai-nilai good governance (transparency, accountability, the rule of law and probity) bisa cenderung dijabarkan dalam konteks menjadikan pasar bekerja lebih efisien, dari pada misalnya dipahamkan semata-mata sebagai upaya penguatan kontrol masyarakat terhadap proses-proses kepemerintahan. Karena negara tidak lagi sebagai 'the center of truth', inspirasi dan prakarsa perubahan bisa lahir dari masyarakat itu sendiri terutama dalam hal ini yang dipelopori oleh pemerintah daerah.
Implementasi good governance sebagaimana uraian di atas, seperti yang dianjurkan paradigma kontekstual teknis bahwa otonomi daerah hendaknya memungkinkan pemerintah daerah memberikan yang terbaik bagi masyarakat di daerah. Maka langkah awal yang harus diambil adalah melakukan capacity building yang saat ini direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintahan termasuk pemerintah lokal (Grindle, 1997; Fiszbein, 1997, Edralin, 1997; Mentz, 1997; Eade, 1998).
Realitas Otonomi Daerah Tantangan Bagi Capacity Building
Dalam beberapa literatur pembangunan, konsep capacity building sebenarnya masih menyisakan sedikit perdebatan dalam pendifinisian. Sebagian ilmuwan memaknai capacity building sebagai capacity development atau capacity strengthening, mengisyaratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing capacity). Sementara yang lain lebih merujuk pada constructing capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (not yet exist). Penulis tidak condong pada salah satu sisi karena keduanya memiliki karakteristik diskusi yang sama yakni analisa kapasitas sebagai inisiatif lain untuk meningkatkan government performance. Dalam hal ini searah dengan pendapat Merilee S. Grindle (1997:6-22);
Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness of government performance.

Jadi capacity building (pengembangan kapasitas) merupakan upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan responsiveness kinerja pemerintah. Yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsiveness yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut.
Sedangkan menurut Valentine Udoh James (1998:xv) memberikan pengertian capacity building sebagai “attemp to enhance the ability of people of developing nations to develop esssential politics and management skills necessary to build their nation's human, economic, social political and cultural structures so as to their proper place in global affairs (capacity building adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat negara sedang berkembang untuk mengembangkan ketrampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial politik, ekonomi dan SDM sehingga mereka eksis dalam percaturan global).
Capacity building didefinisikan oleh Brown (2001:25) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Morison (2001 :42) melihat capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada.
Sedangkan Milen (2001: 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau system tertentu pada suatu waktu tertentu. Pengembangan kapasitas dapat juga didifinisikan sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk (i) menganalisa lingkungan mereka, (ii) mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan kesempatan-kesempatan, (iii) merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-kesempatan yang relevan, (iv) merancang sebuah rencana untuk program-program, dan (v) memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang mendukung pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana program-program, serta (vi) menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran (ACBF, 2001).
Pengertian lain mengenai capacity building juga dikemukakan oleh Katty Sensions 1993:15) yang memberikan definisi
"capacity building usually is understood to mean helping governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant's abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal refonns, as well as scientific, technological andfinancial assistance
(capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan kapasitas seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusan­keputusannya secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturandan kelembagaan, dan juga asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan.

Lebih spesifik dari pengertian tadi capacity building bagi penyelenggaraan pemerintahan didefinisikan sebagai "the extent to which they (staff) demonstrate concrete contribution to personal, organizational and community development" (sampai seberapa jauh staf mampu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat) (Janet L. Finn & Barry Checksoway,1998:4).
Sebagai program yang banyak berhubungan dengan proyek pembangunan negara Dunia Ketiga, capacity building telah menjadi bagian pembahasan dalam lembaga internasional; United Nations memberi rujukan Capacity Building yang berdimensikan pada; 1) Mandat dan struktur legal, 2) Struktur kelembagaan, 3) Pendekatan manajerial, 4) Kemampuan organisasional dan teknis, 4) Kemampuan fiskal lokal, dan 5) Aktivitas-aktivitas program.
World Bank menekankan perhatian capacity building pada;
a)             Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen dan pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis,
b)             Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya manajemen,
c)             Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta interaksi formal dan infonnal,
d)             Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran.
e)             Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.
Sedangkan UNDP memfokuskan pada tiga dimensi, yaitu;
(1)     Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan
(2)     Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material, peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/gedung,
(3)     Teknologi, yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta sistem infonnasi manajemen.
(Edralin, 1997: 148).
Dari berbagai literatur tersebut kiranya dapat dirangkum beberapa dimensi capacity building bagi pemerintah antara lain : (1) pengembangan sumber daya manusia (lihat Fiszbein, 1997; Grindle, 1997; World Bank dalam Edralin, 1997); (2) penguatan organisasi dan manajemen (lihat Grindle, 1997; Fiszbein, 1997; Eade, 1998; Mentz, 1997; United Nations dalam Edralin, 1997); (3) penyediaan sumber daya, sarana dan prasarana (lihat UNDP dalam Edralin, 1997; Fiszbein, 1997); (4) network (lihat Eade, 1998, World Bank dalam Edralin, 1997); (5) lingkungan (lihat World Bank dalam Edralin, 1997; Grindle, 1997); dan (6) mandat, kemampuan fiskal, dan program (UN, dalam Edralin, 1997). Bila rangkuman tersebut kita persempit lagi, maka dapatlah dikemukakan tingkatan-tingkatan pengembangan kapasitas sebagai berikut :













 

















Tingkatan System
 
 



Gambar 1 : Tingkat Pengembangan Aktivitas
Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan :
1.             tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;
2.             tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;
3.             tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.
Bila dilihat dari sudut proses, capacity building di Pemerintah Daerah nampak sebagaimana dalam gambar berikut :

 

















Gambar 2 : Proses Capacity Building


Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Capacity Building
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan program pengembangan kapasitas dalam pemerintahan daerah. Namun secara khusus dapat disampaikan bahwa dalam konteks otonomi daerah, faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pembangunan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu, komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi kelembagaan, dan pengakuan ten tang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari seluruh aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi (termasuk pemerintahan daerah) sangat menentukan sejauh mana pembangunan kapasitas akan dilaksanakan ataupun disukseskan. Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus ditumbuh-kembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki, sangatlah mustahil mengharapkan program pembangunan kapasitas bisa berlangsung apalagi berhasil dengan baik.
Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan kesuksesan program pembangunan kapasitas personal dalam kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi publik (sebagaimana pemerintahan daerah), harus terus menerus didorong sebuah mekanisrne kepemimpinan yang dinamis sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini karena tantangan ke depan yang semakin berat dan juga realitas keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik. Kepemimpinan kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen organisasi dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju realisasi tujuan organisasi yang diinginkan.
Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan daerah di Indonesia serta budaya pegawai pemerintah daerah yang selalu berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formal-prosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan program pembangunan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah bagian dari implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan maka reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.
Keempat, reformasi kelembagaan. Reformasi peraturan di atas tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan iklim dan budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas personal dan kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin dicapai. Reformasi kelembagaan menunjuk dua aspek penting yaitu struktural dan kultural. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa dan menjadi aspek yang penting dan indusif dalam menopang program pembangunan kapasitas dalam pemerintahan daerah di Indonesia.
Kelima, pengakuan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Oleh karena pembangunan kapasitas harus diawali pada identifikasi kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari personal dan lembaga tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari kapasitas yang tersedia (existing capacities). Pengakuan ini penting karena kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan setengah syarat yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan kapasitas.
Persyaratan-Persyaratan Dalam Capacity Building
Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah program pembangunan kapasitas pemerintahan (khususnya pemerintahan daerah) dilakukan. Persyaratan-persyaratan itu antara lain partisipasi, inovasi, akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan (Yuwono, 2003).
Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas. Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan program pembangunan kapasitas pemerintahan daerah. Guna mewujudkan hal ini, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini dibangun sejak awal hinga akhir program pembangunan kapasitas dalam rangka menjamin kontinuitas program.
Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program pembangunan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan berbagai alternatif dan metode pembangunan kapasitas yang bervariasi, dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pembangunan kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.
Akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pembangunan kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas tidak memungkinkan pembangunan kapasitas. Sebaliknya, pembangunan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan.
Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program pembangunan kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program pembangunan kapasitas pemerintahan daerah merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel, akuntabel dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Persyaratan yang terakhir adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program pembangunan kapasitas organisasi. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pembangunan kapasitas antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring), penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin memberikan kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah organisasi.
Elemen-Elemen Capacity Building dalam Otonomi Daerah
Dalam mewujudkan otonomi daerah, maka strategi-strategi yang perlu dipersiapkan berdasarkan dimensi-dimensi, faktor pengaruh dan persyaratan dalam capacity building sebagaimana dikemukakan di depan adalah (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintah daerah, (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah; (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintah daerah; (6) perbaikan budaya organisasi pemerintah daerah; (7) pengembangan SDM aparat pemerintah daerah, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antar kabupaten dan kota, serta (9) pengembangan, pemanfaatan, dan penyesuaian lingkungan pemerintah daerah yang kondusif.
Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki di atas harus dilihat sebagai satu kesatuan, sebagai sebuah sistem, apabila dibenahi yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Bila dicermati elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif).

Capacity Building sebagai Strategi untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Capacity building atau pengembangan kapasitas pada dasarnya merupakan parameter strategi bagi terwujudnya good governance. Dari sekian elemen capacity building yang telah dijelaskan dimuka, khususnya dalam pengembangan otonomi daerah di Indonesia, maka elemen-elemen yang nampaknya mendesak untuk segera diperbaiki adalah;
1)         Pengembangan Visi dan Misi Daerah dan Institusi Pemerintah Kabupaten/Kota.
Untuk saat ini nampaknya belum ada kejelasan mengenai ke mana kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Visi dan misi masih disalah artikan sebagai motto, sesanti atau slogan pembangunan seperti tertulis di spanduk-spanduk pemerintah atau di atap-atap genting penduduk, dan kalaupun tidak, masih berhenti dalam tataran filosofis saja. Padahal visi pada dasarnya merupakan mental model masa depan, cara pandang ke depan kemana instansi pemerintah harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Demikian pula visi juga tidak boleh terlalu abstrak, tetapi benar-benar bisa dibayangkan bentuknya (imaginable), bisa dijangkau dan terukur (tangible) dan lebih penting benar-benar diinginkan (desirable). Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah harus punya misi yang jelas pula. Pernyataan misi membawa organisasi pada sebuah fokus, misi menjelaskan bagaimana melakukannya (LAN, 2000: 1). Ibarat jalan, misi merupakan jalur yang harus dilalui agar tujuan dan sasaran organisasi dapat dilaksanakan, misalnya mempertimbangkan apa (what) yang akan dilakukan dan kapan (when) dilakukan.
Agar bidang-bidang strategis yang akan dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai kejelasan visi dan misi tersebut nampak jelas, maka yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu;
1)        menggali sebanyak mungkin informasi mengenai capacity dan resouces yang dimiliki daerah, baik informasi dari dalam maupun luar organisasi,
2)        menyusun; Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan Rencana Strategis Insitusi Pemerintah Kabupaten/Kota.

Di samping dua hal di atas, yang tidak kalah penting adalah mewujudkan kepemimpinan yang 'visioner'. Yakni pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala lokal, nasional maupun global. Banyak contoh terungkap di media masa kita seorang pemimpin daerah yang baru saja dipilih, belum mengetahui program kerjanya ketika ditanya langkah selanjutnya, dengan alasan baru diangkat atau dilantik sementara program akan 'dipelajari' kemudian. Ini menunjukkan contoh pemimpin yang tidak visioner. Kalau kita ambil contoh perbandingan, awal Oktober lalu di negara bagian AS, California seorang gubernur terpilih, Schwarzenegger, yang berhasil menggeser Gubernur Gray Davis, tidak saja memiliki visi dan misi yang kuat sebagaimana ditunjukkan di setiap kampanyenya, tetapi juga menguasai berbagai persoalan penting yang dihadapi California, meskipun dia berlatar belakang aktor Hollywood. Pentingnya visi dan misi ini sangat ditekankan dalam rangka pemilihan presiden, gubernur, dan bupati di Indonesia. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa visi dan misi merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
2)         Penguatan Kelembagaan Pemerintahan (institutional strengthening).
Dalam Rencana Strategis lnstitusi Pemerintah, bidang-bidang strategis yang harus dikembangkan sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan, semesteran, triwulan atau bulanan yang perlu dikembangkan. Dalam perencanaan strategis formal berkaitan dengan tiga tipe perencanaan; strategic plans, medium-range programs dan short-range budgets and operating plans. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini antara lain tipe,jumlah serta kualitas institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat managerial skills yang dibutuhkan termasuk tipe kepemimpinannya, dan sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Withtaker (1995:11) mengemukakan "strategic planning is concerned with both the definition of goals and objectives for an organization and the design of functional policies, plans and organization structure and systems to achieve those objectives". Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis sesuai sasaran dan tujuan yang telah dirumuskan dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dengan demikian dimensi yang perlu dikembangkan dalam penguatan kelembagaan meliputi : (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan (network) organisasi, (3) pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya organisasi.
Kalau kita lihat pengalaman negara lain di Afrika, terutama Kenya, dalam program capacity building-nya, dimensi penguatan kelembagaan- lebih ditekankan pada pengembangan network dengan teknologi informasi (Peterson, dalam Grindle, 1997: 164). Karena meskipun network-network tersebut kecil (small), ternyata memiliki jangkauan yang luar biasa dan dapat menggerakkan kinerja organisasi secara dramatis. Model seperti ini merupakan salah satu contoh aplikasi electronic government (e-Government), yang menurut Clay G. Wescott, didefinisikan sebagai berikut;
E-Government is the use information and communications technology (ICT) to promote more efficient and cost-effective government, facilitate more convenient government services, allow greater public acces to information, and make government more accountable to citizens. (Wescott, dalam Indrajid, 2002:4)
Negara besar dan terdepan dalam mengimplementasikan e-Government, yakni Amerika dan Inggris, secara jelas merinci manfaat yang akan diperoleh dengan diterapkannya konsep e-Government pada institusi pemerintah, diantaranya; 1) dapat memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama kinerja yang efektif dan efisien, mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya, 2) meningkatkan tranparansi, kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mencapai Good Corporate Governance, 3) menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang lebih luas sejalan dengan perubahan global dan trend yang ada (Indrajit, 2002 : 5). Kiranya model e-Government bisa diterapkan untuk penguatan daya dukung kelembagaan (institutional carrying-capacity) pemerintah daerah di Indonesia.
3)         Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan.
Ada banyak bentuk yang bisa dipilih dalam model pengembangan SDM pemda. Namun demikian perlu adanya framework pengembangan yang relevan bagi setiap aktifitas yang ada. Misalnya, bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis pemda juga seharusnya menentukan jenis, jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di daerah khususnya bagi keperluan lembaga/institusi pemerintah daerah. Pengalaman menunjukkan bahwa seringkali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan strategis daerah, bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi pemerintahan daerah itu sendiri. Dalam konteks SDM ini hendaknya difokuskan pada pengembangan (1) ketrampilan dan keahlian, (2) wawasan dan pengetahuan, (3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif bekerja, dan (5) moral dan etos kerjanya.
Agar pengembangan SDM di daerah lebih mengenai sasaran, maka dalam capacity building perlu diperhatikan empat fase dasar yang akan dilalui (Trostle, dalam Grindle, 1997); Pertama, fase desain (a design phase), meliputi keterlibatan pihak-pihak atau donor constituency tertentu yang bisa menghasilkan masukan (resulting in) bagi strategi pengembangan SDM, baik dari dalam maupun luar lembaga pemerintah misalnya, para administrator, komisaris, anggota dewan, yayasan swasta dll. Kedua fase implementasi proyek (project implementation phase) dimana menyeleksi kontraktor pelaksana atau unit-unit administratif tertentu untuk memulai dan mengimplementasikan suatu program. Ketiga, fase akuisisi kemampuan (a capacity acquisition phase), dari berbagai kegiatan dan training yang terjadi serta pengalaman informal yang didapat akan membentuk keahlian-keahlian baru termasuk mengasah wawasan, bakat, potensi dan etos kerja. Keempat, fase pencapaian/kinerja (performance phase) dimana kemampuan (capacity) individu akan termanifestasikan dalam peraihan tugas dan hasil evaluasi akhir. Hal lain yang perlu diperhitungkan dari setiap fase-fase tersebut adalah adanya pengaruh lain berupa kejadian-kejadian (events) yang mungkin tidak bertalian dengan program misalnya, rotasi jabatan, perubahan politik, peristiwa force majeur seperti bencana alam, konflik sosial dan sebagainya, yang seringkali menyebabkan program pengembangan SDM terkesan tambal sulam serba instant dan mengalami stagnasi.
4)         Pengembangan Network Pemerintahan.
Pengembangan network disini mungkin memiliki kedekatan makna dengan membangun kemitraan (patnership), joint ventures atau aliansi strategis. Pada intinya merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling pengertian dan membesarkan. Meskipun Rencana Strategis telah memberikan arah pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah, untuk melakukan berbagai pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain (misalnya, public-private partnership). Seperti diuraikan Edward J. Blakely (1994); "..No matter what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to enter into new relationship to make the development process work... ". Disamping itu daerah juga punya kebebasan untuk belajar atau saling belajar dan membagi pengalaman (action and learning by doing) dengan; (1) Kabupaten atau Kota lain baik dari dalam maupun dari luar negeri. Misalnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Pemprov Jawa Timur menjalin kerjasama ekonomi dengan pemerintah lokal Australia, atau mengembangkan model sistem city dengan kota di negara lain, sehingga akan terjadi spillover pengalaman dari tempat lain, (2) organisasi-organisasi profesional atau bisnis yang ada, dan (3) pusat-pusat studi dan pengembangan seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, dan LSM yang sesuai dengan kebutuhan, melalui suatu “jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah, menciptakan keterkaitan (linkage) kepentingan yang lebih luas (broad-base) namun dengan tetap memperhatikan prinsip "duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi".
5)         Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan.
Kinerja pengembangan kapasitas pemerintah daerah secara signifikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tindakannya (action environment). Karena pemda sebagaimana sebuah organisasi tidak berada dalam situasi vakum. Artinya banyak faktor-faktor eksternal-internal lain yang mempunyai unsur-unsur kekuatan langsung dan kekuatan tidak langsung, disamping memberi kontribusi bagi munculnya capacity gap atau situasi uncertainty dalam pengembangan kapasitas. Dengan kata lain pemerintah daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dari padanya dapat dimanfaatkan untuk berbuat terbaik di daerah. Disini yang harus dilakukan adalah (1) memanfaatkan segala resources fisik dan non-fisik yang dimiliki secara terukur dan bertanggung jawab, 2) untuk menjamin kemampuan yang berkelanjutan maka perlu dihindari adanya peraturan perundangan yang tumpang tindih yang menjadi sumber kesimpang siuran, ketidakjelasan interpretasi dan rawan penyalahgunaan (wanprestasi), dan (3) memantapkan keamanan dan ketertiban di daerah secara mandiri, menegakkan kepatuhan kepada peraturan, pengawasan dan penegakkan hukum. Peraturan perundangan yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah.
Dalam penyelenggaraan capacity building dalam pemerintahan daerah tersebut nampak dibutuhkan pendekatan yang tepat. Pendekatan yang digunakan meliputi (1) intervensi strategis, (2) institution building, (3) aksi langsung, dan belajar melalui aksi tersebut, dan (4) perbaikan berkesinambungan.
lntervensi strategis merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada intervensi titik-titik strategis, yang menentukan nasib suatu lembaga pemerintahan atau daerah. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, perhatian hendaknya diberikan kepada titik yang paling strategis sebagaimana diungkapkan sebagai dimensi-dimensi pengembangan, dan kepada bidang-bidang strategis yang ditetapkan dalam Renstra.
Pendekatan institution building diarahkan kepada mengubah cara berpikir, sikap dan kebiasaan lama yang telah berurat akar dan memberikan wawasan baru atau nilai-nilai baru seperti nilai-nilai yang terdapat dalam reinventing government dan good governance. Disamping itu, pendekatan ini ditujukan untuk melakukan pembenahan-pembenahan organisasi, manajemen dan kebijakan serta sistem akuntabilitas publik dan pembinan moral dan etos kerja. Dalam konteks otonomi daerah pendekatan ini diarahkan kepada pengurangan hambatan-hambatan struktural, memberi ruang untuk melakukan terobosan (deregulasi, debirokrasi) atau keleluasaan untuk bertindak, memberikan penghargaan terhadap prestasi, dan memberi kewenangan lebih luas kepada unit organisasi atau jabatan yang lebih rendah.
Pendekatan aksi dan belajar langsung diarahkan untuk mendorong kebiasaan empiris, menjadikan kinerja sebagai ajang pembelajaran, dan melakukan perubahan berdasarkan hasil belajar. Diharapkan dengan aksi dan belajar langsung tersebut, profesionalisme dan kemampuan belajar sekaligus kemandirian akan terus meningkat. Kegagalan dan kesalahan masa lalu harus dapat ditolerir karena akan digunakan sebagai bahan pembelajaran. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah pasti mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi pengalaman ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerjanya menuju otonomi yang dikehendaki.
Pendekatan perbaikan berkesinambungan berkenaan dengan upaya untuk terns melakukan tindakan koreksi melalui proses feedback dari program-program yang telah selesai dikerjakan. Pada waktu yang lampau, tradisi evaluasi dan koreksi ini jarang dilakukan. Melalui pendekatan berkesinambungan ini, kekurangan-kekurangan pada input, proses, dan feedback serta kegagalan dalam menyesuaikan dengan lingkungan, dapat dikoreksi. Dalam pendekatan ini, kegiatan masa mendatang hams dilihat sebagai kesinambungan masa lampau. Untuk menuju pada titik otonomi daerah yang diinginkan maka perbaikan berkesinambungan ini sangat diperlukan.
Dalam penyelenggaraan pengembangan kapastitas pemerintahan daerah harus disadari banyaknya hambatan, halangan, dan rintangan yang mungkin akan dihadapi guna kesuksesan program tersebut.
Hambatan-Hambatan Dalam Capacity Building.
Hambatan-hambatan dalam pembangunan kapasitas ini meliputi beberapa hal, antara lain resistensi legal-prosedural, resistensi dari pimpinan khususnya supervisor (pimpinan menengah dan bawah); resistensi dari staff itu sendiri; resistensi konseptual; dan juga mispersepesi tentang pembangunan kapasitas.
Resistensi legal-prosedural, biasanya digunakan oleh pihak­pihak yang kurang atau tidak mendukung program pembangunan kapasitas ini dengan berbagai alasan. Walaupun barangkali penyebab utamanya adalah rendahnya motivasi mereka untuk berinovasi, berkompetisi serta tidak mau melakukan perubahan. Hal ini karena perubahan merupakan sesuatu yang dinamis dan jelas-jelas menolak faham dari kelompok status-quo.
Resistensi dari pimpinan, khususnya supervisor ini mendasarkan diri pada argumen bahwa dengan pembangunan kapasitas, maka mau tidak mau kemampuan staff akan meningkat dan bisa saja mengancam kedudukan struktural mereka. Ini persepsi yang berlebihan tetapi bisa dimaklumi karena aspek motivasi dan kebutuhan kekuasaan.
Resistensi dari staf, yang bervariasi bisa kecil ataupun besar tergantung kultur dan suasana yang ada dalam lingkungan organisasi tertentu. Hambatan yang paling utama adalah bahwa pembangunan kapasitas merupakan sebuah bentuk inovasi atau perubahan sehingga mereka mesti melakukan perubahan atau usaha-usaha inovatif lainnya. Mungkin ada sebagian staff yang kurang dinamis dan tidak positif menyambut perubahan sehingga berdampak negatif terhadap program pembangunan kapasitas tersebut.
Resistensi konseptual terhadap konsep pembangunan kapasitas muncul karena program pembangunan kapasitas menimbulkan pekerjan dan beban yang harus ditanggung oleh semua elemen dalam organisasi tertentu. Mereka berpendapat bahwa dengan lebih aktif akan menambah beban kerja mereka, padahal beban kerja ini belum tentu berkorelasi dengan penambahan upah.
Kemudian adanya mispersepsi bahwa capacity building akan menimbulkan self capacity building. Artinya kemampuan individu menjadi diagung-agungkan tanpa melihat aspek-aspek lainnya. Padahal, koordinasi, kooperasi, kolaborasi, kerjasama dan berbagai elemen dalam organisasi terse but sangat menentukan keberhasilan program pembangunan kapasitas sebuah organisasi. Inilah persepsi keliru yang sering terjadi dalam konteks keorganisasian dewasa ini.

Dari uraian tadi, lalu implikasi nyata apakah yang diharapkan dari prakarsa capacity building bagi pemerintah daerah (Pemda) dalam menuju good governance tersebut?
Pertama, mempertegas Dasar Acuan kinerja Pemerintah Daerah. Sebagai organisasi pemerintah yang mengemban fungsi pelayanan publik (public service) maka aparatur pemda diharapkan dapat merefleksikan visi, misi, dan tujuan sebagai dasar acuan sebuah organisasi publik. Ini perlu ditekankan lebih dahulu karena Pemda berbeda dengan organisasi swasta, yakni Pemda merupakan non profit oriented organization meski sama-sama bersentuhan dengan kepentingan publik. Dalam hal inilah perlu lahirnya kepala daerah Bupati/Walikota, pegawai atau aparatur daerah yang tidak saja mampu memahami susunan pemerintahan daerah dan dasar tata kerjanya seperti Keppres, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah (Perda) dan sebagainya, tetapi juga mengetahui untuk apa organisasi pemda dibentuk, apa tujuannya dan bagaimana meningkatkan kenerjanya untuk kepentingan masyarakat luas di daerahnya.
Kedua, Peningkatan manajemen publik Pemda. Yakni meningkatnya penggunaan managerial skill dalam kepegawaian daerah, pemanfaatan prosedur administrasi kerja dan sistem akuntabilitas keuangan daerah yang lebih baik, menguatnya tanggungjawab, motivasi dan kepuasan kerja diantara pegawai atau aparatur Pemerintah Daerah. Indikasinya yakni adanya kualitas pelayanan (quality of service) seperti, kecepatan (speed), ketepatan (accuracy), murah/terjangkau, transparan serta adil, sebagai wujud dari kepuasan masyarakat.
Ketiga, Meningkatnya kemampuan organisasi Pemda. Sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan di daerah, organisasi Pemda bersama seluruh network-nya hendaknya dapat dibangun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan; karakteristik, potensi dan kebutuhan Daerah, kewenangan pemerintahan yang dimiliki Daerah, kemampuan keuangan Daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, serta pengembangan pola kerjasama (partnership) antar-daerah atau dengan pihak ketiga (private). Indikatornya biasa disebut responsiveness yakni keselarasan antara; program organisasi dan kegiatan pelayanan seperti prosedur, aturan kerja, rencana umum, dengan kebutuhan aspirasi publik.
Keempat, menguatnya kemampuan adaptasi Pemda. Program capacity building pada dasarnya bertujuan agar berkemampuan jangka panjang (long term capacity). Yakni kapasitas Pemda yang berkelanjutan meskipun berada dalam situasi perubahan baik di lingkungan internal maupun eksternal. Indikatornya dalam hal ini adalah adaptif, yakni; adanya konsistensi dalam pencapaian tujuan, produktifitas berkelanjutan (sustainable productivity) berupa keberhasilan sebuah sistem dalam memobilisasi input resources (man, money, methods, material, machine) dalam proses (organizing, participation, coordinating, decision making) dan mengelola feed back (raw material), serta kemampuan bertahan dalam situasi ketidakpastian seperti perubahan ekonomi global, situasi keamanan (misalnya, isu terorisme seperti sekarang ini, atau konflik horisontal di daerah), meningkatkan kepekaan terhadap kesadaran kritis masyarakat dsb.
Meskipun disadari penilaian terhadap good governance bagi setiap pihak akan memiliki alasan dan ukurannya sendiri, namun setidaknya itulah gambaran besar indikator good governance bagi Pemda dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas atau capacity building.
Dari uraian-uraian di atas, bisa kita garis bawahi bahwa makna penting prakarsa capacity building pada prinsipnya berupaya menciptakan suatu dynamic complexity yang harus dikelola pemerintah daerah agar terwujud pemerintahan yang baik (good governance). Di mana dalam pembahasan ini dapat kita indentifikasi adanya dua ranah pendekatan; contextual constraints, mengenai makna, faktor pengaruh, hambatan capacity building itu sendiri, dan dynamic process-nya yang meliputi dimensi-dimensi pengembangan kapasitas seperti human resource development, organizational strengthening dan institutional reform, dalam situasi pengaruh lingkungan internal dan eksternal.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan penyelenggaraan pengembangan kapasitas bagi pemerintah daerah;
Pertama, perlu dihubungkan program capacity building dengan tujuan-tujuan kebijakan masa transisi (link capacity building to policy goals of the transition process). Pengembangan kapasitas dalam masa transisi harus diselaraskan dengan tujuan isi kebijakan tertentu. Misalnya, membuka masuknya ide-ide aktual, keahlian dan teknik-­teknik manajemen baru yang konsisten dengan a market economy.
Kedua, dalam pengembangan kapasitas kenali kemungkinan kegagalan dan mekanisme perencanaan yang menyangkut program ini (recognize the possibility of failure and plan mechanisms to deal with it). Manajemen dalam capacity building harus bisa mengenali setiap pergeseran yang terjadi, termasuk penundaan program maupun pembatalannya. Seperti dikemukakan Bikales (dalam Grindle 1997: 454); " .. even in a transition setting, we cannot take for granted the recipient's incentive to focus on long-term national goals". Dalam era transisi, meskipun terbuka terhadap informasi, bagaimanapun juga tetap perlu mengkritisi setiap masukan baru karena menyangkut kepentingan nasional jangka panjang.
Ketiga, dalam program capacity building, jangan mengabaikan adanya kemungkinan dampak politik dari bantuan luar negeri (don't disregard the political impact of foreign aid). Keterlibatan bantuan asing, baik dalam bentuk teknis maupun finansial akan sulit dihindari dalam program pengembangan kapasitas. Namun bantuan luar negeri bisa memiliki dampak besar bagi politik domestik. Bantuan cenderung mendukung status quo lewat pengurangan tekanan ekonomi untuk menekan inisiatif perubahan dari bawah atau bisa mengalihkan fokus program pada tujuan rekanan tertentu (focus not on the underlying goals, but on any specific counterpart).


DAFTAR PUSTAKA
African Capacity Building Foundation (ACBF), 2001, Capacity Needs Assessment: A Conceptual Framework, in ACBF Newsletter Vol. 2, p. 9-12

Blakely, Edward.J., 1994, Planning Local Economic Development, Theory and Practice, 2nd edition, Sage Publication

Brown, Lisanne; LaFond Anne; Macintyre, Kate, 2001, Measuring Capacity Building, Carolina Population Centre/University of North Carolina, Chapel Hill

Eade, D., 1998, Capacity Building: An Approach to People-Centered Development, Oxford, VK: Oxfam, GB

Edralin, J .Sl, 1997, The New Local Governance and Capacity Building: A Strategic Approach, Regional Development Stud­ies, Vol. 3, p.l48-150

Finn, J.L., dan Barry Checksowai, 1998, Young People as Competent Community, Builders: A Challenge to Social Work", "Social Work", Vol 43, p. 4-6

Fiszbein, A., 1997, The Emergence of Local Capacity: Lesson From Columbia, World Development, Vol. 25 (7), p. 1029-1043

Goldberg, Lenny, 1996, Come The Devoluion, The American Prospect, Winter     

Grindle, M.S., (editor), 1997, Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries, Boston, MA : HArvard Institue for International Development.

Ikhsan, M., Pengelolaan Aset Organisasi Yang Berbasis Pengetahuan, Jurnal Forum [novasi, Capacity Building & Good Governance, VolA, Nopember 2002, h.11, PPs PSIA-FISIP VI

Indrajit, Richardus Eko, 2002, Electronic Government, Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital, ANDI Yogyakarta.

Kingsley, Thomas G., 1996, Perspectives on Devolution, Journal of The American Planning Association, Vol. 62, No.4, p. 3-5, Autumn

Mawhood, Philip, 1987, Local Government In The Third World, New York: John Wiley & Son

Mentz, J.C.N., 1997, Personal and Institution Factor in Capacity Building and Institutional Development, Working Paper No. 14, Maastrict: ECDPM

Milen, Anni, 2001, What Do We Know About Capacity Building ?, An Overview of Existing Knowledge and Good Practice, World Health Organization (Department of Health Service Provision), Geneva

Morrison, Terrence, 2001, Actionable Learning - A Handbook for Capacity Building Through Case Based Learning, ADB Institute

Rondinelli, 1983, Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory And Practice in Developing Countries. International Review of Administrative Sciences. No.1

Senge, P., 1990, The Fifth Discipline, The Art and Practice of Learning Organization, London:Century

Sparringga, Daniel, A., 2001, "Wacana Pemerintahan yang Baik Good Governance dan Transisi Demokrasi", Jurnal Forum Inovasi, Capacity Building & Good Governance, PPs PSIA-FISIP VI Vol. 1 , p. 53-58

Whittaker James B, 1995, The Government Performance and Result Act of 1993: A Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement, Educational Services Institute, Arlington, Virginia.

Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.

Van Rooyen, EJ., 1999, "Capacity Building in Developing Countries:
Human and Environmental Dimensions", dalamAgrica Today, Vol. 46 No.2: 32-36

Yuwono, Teguh, 2003, "Capacity Building in the Local Government: Concept and Analysis", Makalah pada Seminar Intemasional Democracy and Local Politics diselenggarakan oleh PSSAT UGM, STPMD "APMD, UAJY, Yogyakarta, 7-8 Januari


DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
Nama Lengkap
Prof. Dr. H. R. RIYADI SOEPRAPTO, MS.
N I P
130 704 329
Pangkat / Golongan
Pembina, IV/d
Tempat/Tanggal Lahir
Madiun, 7 Juli 1951
Alamat Rumah
Jl. Venus 46 Malang 65144
Alamat Kantor
Fakultas Ilmu Administrasi – Unibraw Malang
Jl. MT. Haryono 163 Malang
Jenis Kelamin
Pria
Agama
Islam
Status Perkawinan
Menikah
Ayah
R. Pardikoen Partoprajitno
Ibu
Sulbiah
Nama Istri
Dra. Hj. Tuti Wahyuningrum
Anak
1.   Dian Ika Kartikaningrum
2.   Irma Paramita Sofia
3.   Aulia Rahmayani

Pendidikan
1
SR Tulungagung II                                                                                           (1966)
2
SMP Negeri I Tulungagung                                                                                (1969)
3
SMA Negeri Tulungagung                                                                                  (1972)
4
Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Unibraw-Malang                             (1978)
5
Magister Sains Universitas Gadjah Mada Yogyakarta                                           (1984)
6
Doktor di bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya                        (1997)

Pendidikan Tambahan
1
English Language Centre (ELC) IKIP Malang                                                       (1979)
2
Penataran P4 tipe A di Malang                                                                           (1979)
3
Perencanaan Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta                                             (1986)
4
Penataran P4 Tingkat Nasional di Malang                                                           (1987)
5
Penataran Akta V baru di Universitas Brawijaya Malang                                      (1988)




Riwayat Kepangkatan, Golongan
1
Capeg                                                                                                             (1979)
2
Asisten Ahli Madya                                 III/a                                                   (1980)
3
Asisten Ahli                                           III/b                                                   (1981)
4
Lektor Muda                                          III/c                                                    (1983)
5
Lektor Madya                                        III/d                                                   (1985)
6
Lektor                                                   IV/a                                                    (1988)
7
Lektor Kepala Madya                             IV/b                                                    (1999)
8
Guru Besar Madya                                 IV/c                                                    (2003)
9
Guru Besar                                            IV/d                                                    (2005)

Riwayat Pekerjaan
1
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Malangkucecwara                     (1979-1981)
2
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang                               (1979-1988)
3
Dosen Tetap Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw Malang                      (1979-sekarang)
4
Dosen Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang                               (1996-sekarang)
5
Dosen Pascasarjana Universitas Merdeka Malang                                       (1998-2001)

Riwayat Jabatan
1
Kepala Bagian Keuangan PT. “GESERCO” Properti Cabang Malang                (1979-1981)
2
Ketua Badan Kerjasama FIA-Unibraw                                                        (1997-1998)
3
Pembantu Dekan III FIA-Unibraw                                                             (1998-2002)
4
Ketua Yayasan Universitas Tulungagung                                             (1999-sekarang)
5
Ketua Laboratorium OTODA FIA-Unibraw                                            (2002-sekarang)
6
Pimpinan Redaksi Jurnal Administrasi Negara FIA-UB                                          (2003)
7
Ketua Program Studi S2 Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Unibraw
                                                                                                       (2005-sekarang)

Keanggotaan Profesi dan Kemasyarakatan
1
Anggota Persadi                                                                                (1979-sekarang)
2
Anggota Korpri                                                                                  (1979-sekarang)
3
Anggota Golkar                                                                                 (1980-sekarang)
4
Pengurus ISI Cabang Malang                                                              (1998-sekarang)





Lokakarya
1
Lokakarya Perencanaan Sosial Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan
di Universitas Indonesia, Jakarta                                                                       (1987)
2
Lokakarya Business Plan di Pemda Probolinggo                                                  (1998)
3
Simposium Kajian Ulang UU No. 22 Tahun 1999                                                 (1999)
4
Simposium Peran Ilmu Administrasi                                                                   (2001)
5
Lokakarya e-Government di Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya Malang                                                                           (2002)
6
Seminar Rekonstruksi Politik Indonesia di Universitas Brawijaya Malang               (2002)

Karya Penelitian
1
Elit Informal Dalam Transformasi Administrasi Pemerintahan
Menurut UU No. 5/1979                                                                                    (1997)
2
Penyusunan Rencana Indek Pariwisata (RIP) Kabupaten Nganjuk                         (1997)
3
Pengembangan Potensi Kabupaten Trenggalek Dalam Rangka
Peningkatan PAD Kabupaten Trenggalek                                                            (1997)
4
Pergeseran Tata Organisasi Kemahasiswaan Unibraw dan Pengaruhnya
Terhadap Sistem Kerja Organisasi Kemahasiswaan, DPP FIA                               (1998)
5
Bussines Plan Kota Probolingo                                                                           (1998)
6
Model Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kota Pasuruan                     (1998)
7
Indek Pembangunan Manusia Kota Pasuruan                                                      (1999)
8
Identifikasi Pelayanan Pendidikan Dasar dan Menengah                                      (2000)
9
Model Pengentasan Kemiskinan Kota Pasuruan                                                   (2000)
10
Strategi Manajemen dan Optimalisasi
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pasuruan                                                       (2001)
11
Pengaruh Bea Siswa Mahasiswa terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa                  (2002)
12
Revisi Propeda, Renstrada Kabupaten Pasir                                                        (2003)
13
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan di Kabupaten Pacitan                       (2003)
14
Penyusunan Rencana Induk Pariwisata (RIP)
Bonang Binangun Sluke Tahap II Kabupaten Rembang                                        (2003)

Buku-Buku Karangan
1
Aspek-aspek Dalam Meningkatkan Kualitas Pegawai & Pekerja,
PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press                                                    (1995)
2
Status & Peran Elit Agama Dalam Proses Pembangunan (Sesudah Diundangkannya UU No.5 th 1979), PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press                                                                               (1996)
3
Pengembangan Pegawai, PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press               (1997)
4
Elit dan Kekuasaan Masyarakat, PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press                                                                               (1998)
5
Filsafat Ilmu, PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press                                (1998)
6
Reliabilitas dan Validitas Dalam Riset Kualitatif, PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press                                                                               (1999)
7
Manajemen Personalia (Suatu Pengantar Edisi Satu),
PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press                                                    (1999)
8
Prinsip-Prinsip Motivasi, PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press                 (1999)
9
Evaluasi Kebijakan Publik, UM Press                                                                  (2000)
10
Perencanaan Evaluasi Kebijakan Publik, UM Press                                              (2001)
11
Administrasi Pembangunan, UM Press                                                                (2002)
12
Interaksionisme Symbolik, Balai Pustaka Pelajar, Yogyakarta                              (2002)

Publikasi Ilmiah
1
Implikasi UU No. 5/1979 dan Pengaruhnya terhadap
Implementasi Administratif Pemerintahan Desa,
Penerbit Agritek IPM Malang                                                                             (1999)
2
Pengembangan Pemberdayaan Koperasi, Penerbit Agritek IPM Malang                 (1999)
3
Pengembangan Pemberdayaan Koperasi Pertanian,
Penerbit Agritek IPM Malang                                                                             (2000)
4
Model Pemberdayaan Kelompok Tani Dalam Program
Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
(Studi Kasus di Desa Tempel Krian Kabupaten Sidoarjo),
Penerbit Agritek IPM Malang                                                                             (2000)
5
Identifikasi Pelayanan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jurnal IPS dan Pengajarannya, Penerbit Universitas Negeri Malang                                                                   (2000)
6
Strategi Management dan Optimalisasi Rumah Potong Hewan (RPH)
Kota Pasuruan, Penerbit Agritek IPM Malang                                                      (2001)
7
Model Pengembangan Kemiskinan Kota Pasuruan,
Penerbit Unibraw Malang                                                                                  (2001)
8
Implementasi UU No. 22/1999 Dalam Perspektif Politik Desentralisasi
(Suatu Evaluasi Yuridis), Penerbit Arena Hukum,
Fakultas Hukum, Unibraw Malang                                                                     (2002)

Kegiatan Pengabdian Masyarakat
1
Memberikan Pelatihan Kewiraswastaan pada KUD Batu                                       (1997)
2
Memberikan Kuliah Umum tentang Good Govern­ment pada
Fakultas Ilmu Administrasi UNIRA Pamekasan                                                    (1998)
3
Pembekalan Wawasan Kebangsaan Persatuan Nasional Mahasiswa
Ilmu Administrasi Seluruh Indonesia Korwil Timur.                                              (1998)
4
Memberikan Pembekalan pada Anggota Legislatif Kabupaten Sumenep                 (1999)
5
Memberikan Pelatihan tentang
Penyusunan Bussines Plan Kota Probolinggo                                                       (1999)
6
Memberikan Kuliah Umum pada STIA Bina Banga
Kabupaten Banjarmasing pada Acara Wisuda Sarjana                                         (1999)
7
Memberikan Pembekalan pada Anggota Legislatif Kabupaten Sampang                 (2000)
8
Memberikan Pembekalan ten tang Otonomi Daerah pada
Komesariat PMII Propinsi Jawa Timur                                                                (2001)
9
Diklat Metodologi Penelitian Sosial Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Malang          (2001)
10
Diskusi Arah Perkembangan Pendidikan Kampus di Indonesia
Dalam Era Globalisasi di Sekretariat HMIFIA                                                      (2001)
11
Diskusi Rutin Pengembangan Produksi Lokal di Sekretariat HMI Pusat Malang       (2002)
12
Memberikan Pelatihan Strategi Management Pemasaran pada
Pengrajin Klompen di Desa Toyomarto, Singosari                                               (2002)
13
Pemberian Pembekalan Teknik Penyusunan LPI Bupati
dalam Kaitannya dengan Renstra                                                                      (2003)
14
Memberikan Pembekalan tentang Leadership
pada Komisariat PMII IAIN Tulungagung                                                            (2003)

Pengalaman Luar Negeri
Studi Banding Bidang Kemahasiswaan Ke NUS Singapore,
Nanyang Singapore, University of Malaya di Malaysia,
dan Mahidol University Thailand                                                                                  (2002)

2 komentar:

  1. hallo rida,, bagus sekali mteri2nya,, dimana saya bisa dapatkatkan buku The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance)karya H. R Riyadi soepropto, untuk penyusuan skripsi sya,,

    BalasHapus