PENGEMBANGAN
KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH
MENUJU
GOOD GOVERNANCE
(The Capacity Building For Local
Government Toward Good Governance)
Disampaikan
dalam Workshop Reformasi Birokrasi pada tanggal 30 Juni 2006 di Kendari
Oleh :
H. R. Riyadi Soeprapto
Otonomi Daerah, Good
Governance Dan Capacity Building
Secara konseptual, perspektif politik desentralisasi (political
desentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Rondinelli (1983) dan banyak
pakar lain merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang
bersifat devolutif. Secara prinsipil dikemukakan bahwa desentralisasi adalah
devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the
devolution of power from central to local government).
Devolusi sendiri dimaknai sebagai bentuk desentralisasi yang paling utuh di
mana konsep ini adalah bentuk pembebasan sekaligus pelepasan fungsi-fungsi oleh
pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintah di luar kontrol
wewenang pusat. Mawhood (1987)
mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai
upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), akuntabilitas
pemerintah lokal (local accountability) dan pertanggungjawaban
pemerintah lokal (local responsibility). Ketiga tujuan ini saling
berkait satu sama lain. Sedangkan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai
tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan
yang jelas (legal territorial of power), memiliki Pendapatan Asli Daerah
(PAD) sendiri (local own income), memiliki badan perwakilan (local
representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya
kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu
pemilihan yang bebas.
Lebih tegas lagi Mawhood (1987: 14) memberikan karakteristik desentralisasi
sebagai : a decentralized local body should have: 1) its own budget, 2) a separate legal existence, 3) authority
to allocate substantial resources, 4) a range of different function, and 5) the
decisions being made by representatives of the local people. Pada
hakekatnya konsep otonomi daerah atau desentralisasi mengandung arti kebebasan
untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administrasi, menurut prakarsa
sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat dengan tetap menghormati
peraturan perundang-undangan Nasional.
Rondinelli (1983 :93) memberikan makna desentralisasi secara lebih komprehensif
sebagai :
the transfer or
delegation of legal and political authority to plan, make decisions and manage
public function from the central government and its agencies to field
organizations of those agencies, subordinate units of government, autonomous
public corporations, area wide or regional development authorities: functional
authorities, autonomous local governments, or non-governmental organizations.
Dari sisi lain Lemieux (1988:34)
mengutarakan otonomi daerah sebagai suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan
sendiri, baik keputusan politik, keputusan administrasi dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Jadi otonomi daerah yang tepat bukan
hanya sekedar reorientasi paradigma self
local government menjadi self local
governance tetapi harus ditindaklanjuti dengan restrukturisasi pelaksanaan
otonomi daerah yang sarat dengan nilai kebebasan (liberty), partisipasi (participation),
demokrasi (democracy), akuntabilitas
(accountability) (Kingsley, 1996:3).
Rondinelli (1983:212)
mengemukakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi derajat otonomi daerah
yaitu :
1) the degree
to which central political leaders and bureaucrats support decentralization and
the organization to which responsibilities are transferred, 2) the degree to
which the dominant behaviour, attitudes, and culture are conducive to
decentralized decision making and administration, 3) the degree to which
policies and programs are appropriately designed and organized to promote
decentralized decision making and management, and 4) the degree to which
adequate financial, human and physical resources are made available to the organization
to which responsibilities are transferred
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa derajat otonomi dapat
tergantung pada : 1) derajat di mana kepemimpinan politik pusat, dukungan
desentralisasi, birokrat, dan organisasi di mana terjadi transfer tanggung
jawab; 2) derajat di mana perilaku dominan, sikap, dan kebudayaan kondusif
terhadap pembuatan keputusan terdesentralisasi dan administrasi; 3) derajat di
mana kebijakan-kebijakan dan program-program direncanakan dan diorganisasikan
dengan tepat untuk mempromosikan pembuatan keputusan terdesentralisasi dan
manajemen; 4) derajat kecukupan dana, manusia, dan sumber daya fisik dibuat dan
tersedia untuk organisasi di mana tanggung jawab ditransfer.
Kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam UU No. 32 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan akan lebih memberi peluang terjadinya perubahan
kepemerintahan yang baik (good governance) di daerah.
PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Merujuk United Nations Development Programme (UNDP)
(1997: 19) dalam paper pertamanya disebutkan karakteristik sistem kepemerintahan
yang baik (the characteristics of good system of governance) yaitu;
"legitimacy, freedom of association and participation and freedom of
the media, fair and established legal frameworks that are enforced impartially,
bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid
information, effective and efficient public sector management, and cooperation
between governments civil society organizations”. Selanjutnya UNDP, seperti
dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengajukan kembali
prinsip-prinsip good governance sebagai berikut:
1) Participation; setiap warga negara memiliki suara dalam
pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui mediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya, 2) Rule of Law; aturan hukum, keputusan,
kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha yang menyangkut masyarakat
dilakukan berdasarkan hukum, 3) Transparency; transparansi yaitu
kebebasan arus informasi; dapat diketahui, dimonitor oleh banyak pihak mengenai
kebijakan, proses-proses lembaga organisasi pemerintah, 4) Responsiveness; lembaga-Iembaga
pemerintah harus tanggap, responsif terhadap kepentingan stakeholder-nya, 5)
Concensus orientation; berorientasi pada kesepakatan yakni bisa menjadi
perantara bagi kepentingan yang berbeda sebagai cara mencari alternatif terbaik
dan membela kepentingan yang lebih luas, 6) Equity; kesetaraan, semua
warga negara laki-Iaki maupun perempuan, tanpa memandang status miskin-kaya, memiliki
peluang yang sama dalam mendapatkan kesejahteraan, 7) Effectiveness and
efficiency; setiap proses kegiatan, aktifitas lembaga pemerintah dapat
menyelesaikan tugasnya sesuai dengan garis yang ditetapkan, 8) Accountability;
para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil
society) bertanggung jawab pada publik dan lembaga stakeholdernya, 9) Strategic
vision; visi strategis, para pemimpin dan publik harus memiliki perspektif
good governance dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke depan sesuai
keperIuan pembangunan.
Jadi, good
governance pada esensinya merupakan pemerintahan yang efektif dan modern,
yakni suatu pemerintahan yang demokratik (demokratic governance) yang
elemen utamanya partisipasi masyarakat (Goffrey R. Njeru, 2000:213).
Sementara desentralisasi-otonomi, kalau merujuk perkembangan pustaka-pustaka
terakhir, cenderung diisyaratkan sebagai basis bagi kepemerintahan yang baik (good
governance).
Sebenarnya
kalau dicermati paradigma good governance yang berkembang sekarang ini
merupakan trend global
dan tuntutan dalam sistem politik yang demokratis. Dalam teori dan praktek
pemerintahan modern diajarkan bahwa untuk menciptakan the good governance, terIebih
dahulu perIu dilakukan desentralisasi pemerintahan. lni searah dengan
problematika yang dihadapi negara sedang berkembang seperti Indonesia, yang
masih disibukkan dengan agenda transisi demokrasi seperti; pemisahan kekuasaan
diantara lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif; pembagian kekuasaan
diantara pemerintah pusat, regional dan lokal; pemisahanan kekuasaan atau
kewenangan antara negara dan masyarakat, dan pemisahan antara hak individu dan
kekuasaan komunal, yang semuanya itu bermuara pada inisiatif otonomi.
Terlepas
dari kekhawatiran akan kelemahan yang masih ada, pelaksanaan otonomi yang
melibatkan partisipasi masyarakat lokal memungkinkan terlahirnya pemerintahan
daerah yang demokratis dalam rangka menuju pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam definisi umum sebagaimana telah disebutkan di bagian
terdahulu, pada dasarnya kita akan menemukan sekurang-kurangnya sepuluh
komponen utama yang sering dihubungkan dengan istilah good governance, yakni;
good governance is helpful, good governance depend on concent, good
governance is open, good governance is accountable, good governance gives value
for money, good governance is responsive, good governance is fair, good
governance offers information, good governance observers standards, good
governance observers right. Dari
pengertian umum ini nampak bahwa good governance berorientasi pada;
Pertama, orientasi ideal negara yang
diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yakni nilai-nilai yang
menjunjung tinggi kehendak masyarakat, yang dapat meningkatkan kemandirian
rakyat dalam pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini mengacu pada
demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya
seperti legitimacy (apakah pemerintahan mendapat kepercayaan rakyatnya),
accountability, scuring of human right, autonomi and devolution of power dan
assurance of civilian control (LAN,2000:6).
Kedua, orientasi pada aspek-aspek
fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk tujuan-tujuan tersebut. Orientasi ini tergantung pada sejauh
mana pemerintahan mempunyai kompetensi, serta bagaimana agar struktur dan
tatanan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dalam
penyelenggaraan capacity building, orientasi-orientasi tersebut sangat
berkaitan dengan dimensi reformasi kelembagaan pemerintah. Menurut Stephen
E. Cornell dan Joseph P. Kalt (dalam Grindle, 1997;263-265);
untuk kemajuan apapun seperti pencapaian progres ekonomi-sosial, institusi yang
kaya investasi dan saving, yang menghargai spesialisasi, menjunjung
tinggi hak dan cara permufakatan, semata hanya mereka yang lulus uji effektifitas
dan legitimasi, (that to be productive of economic progress and social
health, the formal institution of government that undergird process of savings
and investment, specialization and exchange, and right enforcement and dispute
resolution must pass tests of both effectiveness and legitimacy). Teori
kontrak-sosial baru (membahas konsep “social capital”, “norm”, “political
culture”) mengisyaratkan bahwa lembaga pemerintah yang efektif -karena atribusi
kolektifitas dan muatan kekuasaan politiknya-, perlu membutuhkan keselarasan
dengan empat norma-norma kebenaran politis masyarakat seperti; Struktur
kewenangan (structure of authority), Lingkup kewenangan (scope of
authority), Letak kewenangan (location of authority), dan Sumber
kewenangan (source of authority), (Kalt, dalam Grindle, 1997:263-265).
Kalau kita
menengok pengalaman masa lalu negara kita, karena tingginya tuntutan dan
harapan terhadap peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan, pemegang
kekuasaan selalu beranggapan tidak terdapat alternatif yang lebih baik untuk
mendatangkan kesejahteraan selain dengan cara meredam dinamika politik yang
tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat kemudian harus menerima
kenyataan meningkatnya structure of authority dan scope of authority dalam
lembaga birokrasi pemerintah. Misalnya, bila dikaitkan dengan tujuan
desentralisasi secara teoritik, 'tampak bila pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia masih menonjolkan pada tujuan administratif (birokrasi), yakni
bertendensi pada penyelesaian tugas dan kewajiban pemerintah pusat agar lebih
efisien, dari pada tujuan politis (demokrasi) yang memberi peluang
pendidikan politik bagi semua rakyat dan sebagai arena bagi politisi lokal
untuk berkiprah di tingkat nasional. Hal seperti inilah yang menyebabkan upaya
penegakan local good governance, yang dicirikan dengan penyelenggaraan
pemerintahan yang akuntable, transparan dan partisipatif, dalam pelaksanaan
otonomi daerah dari tahun ke tahun belum mengangkat isu dan permasalahan riil
mengenai pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance) tersebut.
Bila kita
tengok pengalaman negara-negara lain yang pernah mengalami transisi, secara
empiris negara-negara industri baru di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti
Korea Selatan, Taiwan, Singapura atau bahkan China yang sekarang ini sedang
menggeliat, tahap-tahap awal pembangunannya memang diwarnai oleh kuatnya
peranan birokrasi pemerintah. Meski demikian perkembangan ekonomi yang pesat
dan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk kemudian ikut andil dalam memunculkan
kesadaran rakyat yang ditandai dengan semakin berkembangnya iklim demokrasi
politik di negara-negara tersebut. Persoalannya bagaimana dengan kondisi di
Indonesia?
Pada
dasarnya good governance sebagai alat analisis dan capacity building sebagai
alat aksi sesungguhnya sangat berhubungan dengan upaya “downsizing” peran
(role) dan cakupan pemerintahan di satu sisi dan pada sisi lain dengan
usaha meningkatkan peran dan cakupan 'pasar' (market) sebagai cara utama
atau mungkin satu-satunya alternatif untuk meningkatkan kemajuan negara-negara
sedang berkembang seperti Indonesia, atau yang secara spesifik diartikan
sebagai kemajuan atau pertumbuhan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Ini
berarti, konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan nilai-nilai good governance
(transparency, accountability, the rule of law and probity) bisa cenderung
dijabarkan dalam konteks menjadikan pasar bekerja lebih efisien, dari pada
misalnya dipahamkan semata-mata sebagai upaya penguatan kontrol masyarakat
terhadap proses-proses kepemerintahan. Karena negara tidak lagi sebagai 'the
center of truth', inspirasi dan prakarsa perubahan bisa lahir dari
masyarakat itu sendiri terutama dalam hal ini yang dipelopori oleh pemerintah
daerah.
Implementasi
good governance sebagaimana uraian di atas, seperti yang dianjurkan
paradigma kontekstual teknis bahwa otonomi daerah hendaknya memungkinkan
pemerintah daerah memberikan yang terbaik bagi masyarakat di daerah. Maka
langkah awal yang harus diambil adalah melakukan capacity building yang
saat ini direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintahan termasuk
pemerintah lokal (Grindle, 1997;
Fiszbein, 1997, Edralin, 1997; Mentz, 1997; Eade, 1998).
Realitas Otonomi Daerah Tantangan Bagi Capacity
Building
Dalam
beberapa literatur pembangunan, konsep capacity building sebenarnya
masih menyisakan sedikit perdebatan dalam pendifinisian. Sebagian ilmuwan
memaknai capacity building sebagai capacity development atau capacity
strengthening, mengisyaratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang
sudah ada (existing capacity). Sementara yang lain lebih merujuk pada constructing
capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (not
yet exist). Penulis tidak condong pada salah satu sisi karena keduanya
memiliki karakteristik diskusi yang sama yakni analisa kapasitas sebagai
inisiatif lain untuk meningkatkan government performance. Dalam hal ini
searah dengan pendapat Merilee S. Grindle (1997:6-22);
Capacity building is intended to encompass a variety of
strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and
responsiveness of government performance.
Jadi capacity
building (pengembangan kapasitas) merupakan upaya yang dimaksudkan untuk
mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efficiency, effectiveness, dan
responsiveness kinerja pemerintah. Yakni efficiency, dalam hal
waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna
mencapai suatu outcome; effectiveness berupa kepantasan usaha yang
dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsiveness yakni bagaimana
mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut.
Sedangkan
menurut Valentine Udoh James (1998:xv) memberikan pengertian capacity
building sebagai “attemp to enhance the ability of people of developing
nations to develop esssential politics and management skills necessary to build
their nation's human, economic, social political and cultural structures so as
to their proper place in global affairs (capacity building adalah upaya
untuk meningkatkan kemampuan rakyat negara sedang berkembang untuk
mengembangkan ketrampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan
untuk membangun struktur budaya, sosial politik, ekonomi dan SDM sehingga
mereka eksis dalam percaturan global).
Capacity
building didefinisikan oleh Brown (2001:25) sebagai suatu proses yang dapat
meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk
mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Morison (2001 :42) melihat capacity
building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian
gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan
penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan
yang ada.
Sedangkan
Milen (2001: 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas
khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau
system tertentu pada suatu waktu tertentu. Pengembangan kapasitas dapat juga didifinisikan
sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk (i) menganalisa lingkungan
mereka, (ii) mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan
kesempatan-kesempatan, (iii) merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan
masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih
kesempatan-kesempatan yang relevan, (iv) merancang sebuah rencana untuk
program-program, dan (v) memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang
mendukung pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana program-program,
serta (vi) menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran (ACBF,
2001).
Pengertian lain mengenai capacity
building juga dikemukakan oleh Katty Sensions 1993:15) yang memberikan
definisi
"capacity building usually is understood to mean
helping governments, communities and individuals to develop the skills and
expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed
to strengthen participant's abilities to evaluate their policy choices and
implement decisions effectively, may include education and training,
institutional and legal refonns, as well as scientific, technological
andfinancial assistance
(capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah,
masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan
kapasitas seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi
pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusankeputusannya secara
efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi pendidikan dan pelatihan,
reformasi peraturandan kelembagaan, dan juga asistensi finansial, teknologi dan
keilmuwan.
Lebih
spesifik dari pengertian tadi capacity building bagi penyelenggaraan
pemerintahan didefinisikan sebagai "the extent to which they (staff)
demonstrate concrete contribution to personal, organizational and community
development" (sampai seberapa jauh staf mampu menunjukkan kontribusi
yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat) (Janet
L. Finn & Barry
Checksoway,1998:4).
Sebagai
program yang banyak berhubungan dengan proyek pembangunan negara Dunia Ketiga, capacity
building telah menjadi bagian pembahasan dalam lembaga internasional; United
Nations memberi rujukan Capacity Building yang berdimensikan pada;
1) Mandat dan struktur legal, 2) Struktur kelembagaan, 3) Pendekatan
manajerial, 4) Kemampuan organisasional dan teknis, 4) Kemampuan fiskal lokal,
dan 5) Aktivitas-aktivitas program.
World Bank menekankan perhatian capacity
building pada;
a)
Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen dan pemutusan
pegawai profesional, manajerial dan teknis,
b)
Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya
manajemen,
c)
Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi,
fungsi network, serta interaksi formal dan infonnal,
d)
Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation)
yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara
lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta
dukungan keuangan dan anggaran.
e)
Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik,
ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.
Sedangkan UNDP memfokuskan
pada tiga dimensi, yaitu;
(1) Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu
kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan
(2) Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material,
peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/gedung,
(3) Teknologi, yaitu organisasi dan gaya
manajemen, fungsi perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi,
komunikasi, serta sistem infonnasi manajemen.
(Edralin, 1997: 148).
Dari
berbagai literatur tersebut kiranya dapat dirangkum beberapa dimensi capacity
building bagi pemerintah antara lain : (1) pengembangan sumber daya manusia
(lihat Fiszbein, 1997; Grindle, 1997; World Bank dalam Edralin,
1997); (2) penguatan organisasi dan manajemen (lihat Grindle, 1997; Fiszbein,
1997; Eade, 1998; Mentz, 1997; United Nations dalam Edralin,
1997); (3) penyediaan sumber daya, sarana dan prasarana (lihat UNDP dalam
Edralin, 1997; Fiszbein, 1997); (4) network (lihat Eade, 1998, World
Bank dalam Edralin, 1997); (5) lingkungan (lihat World Bank dalam Edralin,
1997; Grindle, 1997); dan (6) mandat, kemampuan fiskal, dan program (UN, dalam
Edralin, 1997). Bila rangkuman tersebut kita persempit lagi, maka dapatlah
dikemukakan tingkatan-tingkatan pengembangan kapasitas sebagai berikut :

|
Gambar 1 : Tingkat
Pengembangan Aktivitas
Dari gambar
tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas harus
dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga)
tingkatan-tingkatan :
1.
tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan
pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian
obyektivitas kebijakan tertentu;
2.
tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur
organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam
organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan
sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;
3.
tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan
persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan
motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.
Bila dilihat
dari sudut proses, capacity building di Pemerintah Daerah nampak
sebagaimana dalam gambar berikut :

Gambar 2 : Proses
Capacity Building
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Capacity Building
Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan program
pengembangan kapasitas dalam pemerintahan daerah. Namun secara khusus dapat
disampaikan bahwa dalam konteks otonomi daerah, faktor-faktor signifikan yang
mempengaruhi pembangunan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu, komitmen
bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi kelembagaan, dan
pengakuan ten tang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari
seluruh aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi (termasuk pemerintahan
daerah) sangat menentukan sejauh mana pembangunan kapasitas akan dilaksanakan
ataupun disukseskan. Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus
terus menerus ditumbuh-kembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor
ini akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh
sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan tingkat atas,
menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki, sangatlah mustahil
mengharapkan program pembangunan kapasitas bisa berlangsung apalagi berhasil dengan
baik.
Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan
salah satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan kesuksesan
program pembangunan kapasitas personal dalam kelembagaan sebuah organisasi.
Dalam konteks lingkungan organisasi publik (sebagaimana pemerintahan daerah),
harus terus menerus didorong sebuah mekanisrne kepemimpinan yang dinamis
sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini karena tantangan ke depan
yang semakin berat dan juga realitas keterbatasan sumber daya yang dimiliki
sektor publik. Kepemimpinan kondusif yang memberikan kesempatan luas pada
setiap elemen organisasi dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas
merupakan sebuah modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan
menuju realisasi tujuan organisasi yang diinginkan.
Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan
daerah di Indonesia serta budaya pegawai pemerintah daerah yang selalu
berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formal-prosedural
merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan program pembangunan
kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah bagian dari implementasi program
yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan maka reformasi (atau dapat
dibaca penyelenggaran peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang
perlu dilakukan dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.
Keempat, reformasi
kelembagaan. Reformasi
peraturan di atas tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi kelembagaan
ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan iklim dan
budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas personal dan
kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin dicapai. Reformasi
kelembagaan menunjuk dua aspek penting yaitu struktural dan kultural. Kedua
aspek ini harus dikelola sedemikian rupa dan menjadi aspek yang penting dan
indusif dalam menopang program pembangunan kapasitas dalam pemerintahan daerah
di Indonesia.
Kelima, pengakuan kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki. Oleh karena pembangunan kapasitas harus diawali pada identifikasi
kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari personal dan lembaga tentang
kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari kapasitas yang tersedia (existing
capacities). Pengakuan ini penting karena kejujuran tentang kemampuan yang
dimiliki merupakan setengah syarat yang harus dimiliki dalam rangka
menyukseskan program pengembangan kapasitas.
Persyaratan-Persyaratan
Dalam Capacity Building
Ada beberapa
persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah program pembangunan kapasitas
pemerintahan (khususnya pemerintahan daerah) dilakukan. Persyaratan-persyaratan
itu antara lain partisipasi, inovasi,
akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan (Yuwono, 2003).
Partisipasi
merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar
seluruh rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas. Partisipasi dari semua level,
tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas,
menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan program pembangunan
kapasitas pemerintahan daerah. Guna mewujudkan hal ini, maka sudah semestinya
inisiatif partisipasi ini dibangun sejak awal hinga akhir program pembangunan
kapasitas dalam rangka menjamin kontinuitas program.
Inovasi juga
merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting mendesak. Harus diakui
bahwa inovasi adalah bagian dari program pembangunan kapasitas, khususnya dalam
kerangka menyediakan berbagai alternatif dan metode pembangunan kapasitas yang
bervariasi, dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pembangunan
kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan
bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat ataupun tidak
memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena pekerjaan bukanlah
sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis sesuai dengan tuntutan
publik yang kian tinggi.
Akses
terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya dalam
melakukan program pembangunan kapasitas. Pada bentuk organisasi yang
tradisional dan birokratis, semua informasi dipegang dan dikuasai oleh
pimpinan. Kondisi seperti ini jelas tidak memungkinkan pembangunan kapasitas. Sebaliknya,
pembangunan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan
kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif guna
mendukung program yang akan dilaksanakan.
Akuntabilitas
juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya. Akuntabilitas
penting untuk menjaga bahwa program pembangunan kapasitas juga harus
dikendalikan sedemikian rupa sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan.
Dengan kata lain akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program
pembangunan kapasitas pemerintahan daerah merupakan kegiatan yang legitimate,
kredibel, akuntabel dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Persyaratan
yang terakhir adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program pembangunan
kapasitas organisasi. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pembangunan
kapasitas antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap
ide-ide baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian
(caring), penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta
penghormatan kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin
memberikan kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka
akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah organisasi.
Elemen-Elemen
Capacity Building dalam Otonomi Daerah
Dalam
mewujudkan otonomi daerah, maka strategi-strategi
yang perlu dipersiapkan berdasarkan dimensi-dimensi, faktor pengaruh dan
persyaratan dalam capacity building sebagaimana dikemukakan di depan
adalah (1) penentuan secara jelas visi
dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan
publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintah daerah, (4)
perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah; (5)
pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintah daerah; (6)
perbaikan budaya organisasi pemerintah daerah; (7) pengembangan SDM aparat
pemerintah daerah, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antar kabupaten dan kota, serta (9) pengembangan,
pemanfaatan, dan penyesuaian lingkungan pemerintah daerah yang kondusif.
Semua elemen
yang harus dikembangkan atau diperbaiki di atas harus dilihat sebagai satu
kesatuan, sebagai sebuah sistem, apabila dibenahi yang satu dapat mempengaruhi
yang lain. Bila dicermati elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan
daerah dalam penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan),
proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan
input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang
kondusif).
Capacity Building sebagai Strategi untuk Mewujudkan
Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Capacity
building atau pengembangan kapasitas pada dasarnya merupakan parameter strategi
bagi terwujudnya good governance. Dari sekian elemen capacity building
yang telah dijelaskan dimuka, khususnya dalam pengembangan otonomi daerah di
Indonesia, maka elemen-elemen yang nampaknya mendesak untuk segera diperbaiki
adalah;
1)
Pengembangan Visi dan Misi Daerah
dan Institusi Pemerintah Kabupaten/Kota.
Untuk saat
ini nampaknya belum ada kejelasan mengenai ke mana kabupaten/kota sebagai
daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota
sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Visi dan
misi masih disalah artikan sebagai motto, sesanti atau slogan
pembangunan seperti tertulis di spanduk-spanduk pemerintah atau di
atap-atap genting penduduk, dan kalaupun tidak, masih berhenti dalam tataran
filosofis saja. Padahal visi pada dasarnya merupakan mental model masa
depan, cara pandang ke depan kemana instansi pemerintah harus dibawa agar dapat
eksis, antisipatif dan inovatif. Demikian pula visi juga tidak boleh terlalu
abstrak, tetapi benar-benar bisa dibayangkan bentuknya (imaginable), bisa
dijangkau dan terukur (tangible) dan lebih penting benar-benar
diinginkan (desirable). Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah
daerah harus punya misi yang jelas pula. Pernyataan misi membawa organisasi
pada sebuah fokus, misi menjelaskan bagaimana melakukannya (LAN, 2000: 1).
Ibarat jalan, misi merupakan jalur yang harus dilalui agar tujuan dan sasaran
organisasi dapat dilaksanakan, misalnya mempertimbangkan apa (what) yang akan dilakukan dan kapan (when) dilakukan.
Agar
bidang-bidang strategis yang akan dikembangkan oleh daerah dalam rangka
mencapai kejelasan visi dan misi tersebut nampak jelas, maka yang bisa
dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu;
1)
menggali sebanyak mungkin informasi mengenai capacity dan resouces
yang dimiliki daerah, baik informasi dari dalam maupun luar organisasi,
2)
menyusun; Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan Rencana Strategis
Insitusi Pemerintah Kabupaten/Kota.
Di samping
dua hal di atas, yang tidak kalah penting adalah mewujudkan kepemimpinan yang
'visioner'. Yakni pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala
lokal, nasional maupun global. Banyak contoh terungkap di media masa kita
seorang pemimpin daerah yang baru saja dipilih, belum mengetahui program kerjanya
ketika ditanya langkah selanjutnya, dengan alasan baru diangkat atau dilantik
sementara program akan 'dipelajari' kemudian. Ini menunjukkan contoh pemimpin
yang tidak visioner. Kalau kita ambil contoh perbandingan, awal Oktober lalu di
negara bagian AS, California seorang
gubernur terpilih, Schwarzenegger, yang berhasil menggeser Gubernur Gray Davis,
tidak saja memiliki visi dan misi yang kuat sebagaimana ditunjukkan di setiap
kampanyenya, tetapi juga menguasai berbagai persoalan penting yang dihadapi
California, meskipun dia berlatar belakang aktor Hollywood. Pentingnya visi dan
misi ini sangat ditekankan dalam rangka pemilihan presiden, gubernur, dan
bupati di Indonesia. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa visi dan misi
merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
2)
Penguatan Kelembagaan Pemerintahan
(institutional strengthening).
Dalam
Rencana Strategis lnstitusi Pemerintah, bidang-bidang strategis yang harus
dikembangkan sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan,
semesteran, triwulan atau bulanan yang perlu dikembangkan. Dalam perencanaan
strategis formal berkaitan dengan tiga tipe perencanaan; strategic plans,
medium-range programs dan short-range budgets and operating plans. Yang
perlu diperhatikan dalam hal ini antara lain tipe,jumlah serta kualitas
institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat managerial skills yang
dibutuhkan termasuk tipe kepemimpinannya, dan sistem akuntabilitas publik serta
budaya organisasi pemerintahan. Withtaker (1995:11) mengemukakan "strategic
planning is concerned with both the definition of goals and objectives for an
organization and the design of functional policies, plans and organization
structure and systems to achieve those objectives". Dengan kata lain,
pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan
bidang-bidang strategis sesuai sasaran dan tujuan yang telah dirumuskan dalam
Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dengan
demikian dimensi yang perlu dikembangkan dalam penguatan kelembagaan meliputi :
(1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan (network) organisasi, (3)
pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5)
pengembangan budaya organisasi.
Kalau kita
lihat pengalaman negara lain di Afrika, terutama Kenya, dalam program capacity
building-nya, dimensi penguatan kelembagaan- lebih ditekankan pada
pengembangan network dengan teknologi informasi (Peterson, dalam
Grindle, 1997: 164). Karena meskipun network-network tersebut kecil (small),
ternyata memiliki jangkauan yang luar biasa dan dapat menggerakkan kinerja
organisasi secara dramatis. Model seperti ini merupakan salah satu contoh
aplikasi electronic government (e-Government), yang menurut Clay G.
Wescott, didefinisikan sebagai berikut;
E-Government is the use information
and communications technology (ICT) to promote more efficient and
cost-effective government, facilitate more convenient government services,
allow greater public acces to information, and make government more accountable
to citizens. (Wescott,
dalam Indrajid, 2002:4)
Negara besar
dan terdepan dalam mengimplementasikan e-Government, yakni Amerika dan
Inggris, secara jelas merinci manfaat yang akan diperoleh dengan diterapkannya
konsep e-Government pada institusi pemerintah, diantaranya; 1) dapat
memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya
(masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama kinerja yang efektif dan
efisien, mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan
interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya, 2) meningkatkan
tranparansi, kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka mencapai Good Corporate Governance, 3) menciptakan suatu
lingkungan masyarakat baru yang lebih luas sejalan dengan perubahan global dan
trend yang ada (Indrajit, 2002 : 5). Kiranya model e-Government bisa
diterapkan untuk penguatan daya dukung kelembagaan (institutional
carrying-capacity) pemerintah daerah di Indonesia.
3)
Pengembangan SDM Aparat
Pemerintahan.
Ada banyak
bentuk yang bisa dipilih dalam model pengembangan SDM pemda. Namun demikian
perlu adanya framework pengembangan yang relevan bagi setiap aktifitas yang
ada. Misalnya, bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis pemda juga
seharusnya menentukan jenis, jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di daerah
khususnya bagi keperluan lembaga/institusi pemerintah daerah. Pengalaman
menunjukkan bahwa seringkali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan
strategis daerah, bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi
pemerintahan daerah itu sendiri. Dalam konteks SDM ini hendaknya difokuskan
pada pengembangan (1) ketrampilan dan keahlian, (2) wawasan dan pengetahuan,
(3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif bekerja, dan (5) moral dan
etos kerjanya.
Agar
pengembangan SDM di daerah lebih mengenai sasaran, maka dalam capacity
building perlu diperhatikan empat fase dasar yang akan dilalui (Trostle,
dalam Grindle, 1997); Pertama, fase desain (a design phase), meliputi
keterlibatan pihak-pihak atau donor constituency tertentu yang bisa menghasilkan
masukan (resulting in) bagi strategi pengembangan SDM, baik dari dalam
maupun luar lembaga pemerintah misalnya, para administrator, komisaris, anggota
dewan, yayasan swasta dll. Kedua fase implementasi proyek (project
implementation phase) dimana menyeleksi kontraktor pelaksana atau unit-unit
administratif tertentu untuk memulai dan mengimplementasikan suatu program. Ketiga,
fase akuisisi kemampuan (a capacity acquisition phase), dari berbagai
kegiatan dan training yang terjadi serta pengalaman informal yang didapat akan
membentuk keahlian-keahlian baru termasuk mengasah wawasan, bakat, potensi dan
etos kerja. Keempat, fase pencapaian/kinerja (performance phase) dimana
kemampuan (capacity) individu akan termanifestasikan dalam peraihan
tugas dan hasil evaluasi akhir. Hal lain yang perlu diperhitungkan dari setiap
fase-fase tersebut adalah adanya pengaruh lain berupa kejadian-kejadian (events)
yang mungkin tidak bertalian dengan program misalnya, rotasi jabatan,
perubahan politik, peristiwa force majeur seperti bencana alam, konflik
sosial dan sebagainya, yang seringkali menyebabkan program pengembangan SDM
terkesan tambal sulam serba instant dan mengalami stagnasi.
4)
Pengembangan Network Pemerintahan.
Pengembangan
network disini mungkin memiliki kedekatan makna dengan membangun kemitraan (patnership),
joint ventures atau aliansi strategis. Pada intinya merupakan suatu
strategi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu
untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
pengertian dan membesarkan. Meskipun Rencana Strategis telah memberikan arah
pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah, untuk melakukan berbagai
pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu
harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain
(misalnya, public-private partnership). Seperti diuraikan Edward J. Blakely (1994); "..No matter what
organizational structure is selected,
public agencies and private firms have to enter into new relationship to make
the development process work... ". Disamping itu daerah juga punya
kebebasan untuk belajar atau saling belajar dan membagi pengalaman (action
and learning by doing) dengan; (1) Kabupaten atau Kota lain baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Misalnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Pemprov
Jawa Timur menjalin kerjasama ekonomi dengan pemerintah lokal Australia, atau
mengembangkan model sistem city dengan kota di negara lain, sehingga
akan terjadi spillover pengalaman dari tempat lain, (2)
organisasi-organisasi profesional atau bisnis yang ada, dan (3) pusat-pusat
studi dan pengembangan seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, dan LSM
yang sesuai dengan kebutuhan, melalui suatu “jaringan kerja” yang terencana.
Kolaborasi antara mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah,
menciptakan keterkaitan (linkage) kepentingan yang lebih luas (broad-base)
namun dengan tetap memperhatikan prinsip "duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi".
5)
Pengembangan dan Pemanfaatan
Lingkungan Pemerintahan.
Kinerja
pengembangan kapasitas pemerintah daerah secara signifikan dapat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan tindakannya (action environment). Karena pemda
sebagaimana sebuah organisasi tidak berada dalam situasi vakum. Artinya banyak
faktor-faktor eksternal-internal lain yang mempunyai unsur-unsur kekuatan
langsung dan kekuatan tidak langsung, disamping memberi kontribusi bagi
munculnya capacity gap atau situasi uncertainty dalam
pengembangan kapasitas. Dengan kata lain pemerintah daerah sangat membutuhkan
suatu lingkungan yang kondusif, yang dari padanya dapat dimanfaatkan untuk
berbuat terbaik di daerah. Disini yang harus dilakukan adalah (1) memanfaatkan
segala resources fisik dan non-fisik yang dimiliki secara terukur dan bertanggung
jawab, 2) untuk menjamin kemampuan yang berkelanjutan maka perlu dihindari
adanya peraturan perundangan yang tumpang tindih yang menjadi sumber kesimpang
siuran, ketidakjelasan interpretasi dan rawan penyalahgunaan (wanprestasi), dan
(3) memantapkan keamanan dan ketertiban di daerah secara mandiri, menegakkan
kepatuhan kepada peraturan, pengawasan dan penegakkan hukum. Peraturan
perundangan yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara
keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin
bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah.
Dalam
penyelenggaraan capacity building
dalam pemerintahan daerah tersebut nampak dibutuhkan pendekatan yang tepat.
Pendekatan yang digunakan meliputi (1) intervensi strategis, (2) institution
building, (3) aksi langsung, dan belajar melalui aksi tersebut, dan (4)
perbaikan berkesinambungan.
lntervensi
strategis merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada intervensi
titik-titik strategis, yang menentukan nasib suatu lembaga pemerintahan atau
daerah. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, perhatian hendaknya diberikan
kepada titik yang paling strategis sebagaimana diungkapkan sebagai
dimensi-dimensi pengembangan, dan kepada bidang-bidang strategis yang
ditetapkan dalam Renstra.
Pendekatan institution
building diarahkan kepada mengubah cara berpikir, sikap dan kebiasaan lama
yang telah berurat akar dan memberikan wawasan baru atau nilai-nilai baru
seperti nilai-nilai yang terdapat dalam reinventing government dan good
governance. Disamping itu, pendekatan ini ditujukan untuk melakukan
pembenahan-pembenahan organisasi, manajemen dan kebijakan serta sistem
akuntabilitas publik dan pembinan moral dan etos kerja. Dalam konteks otonomi
daerah pendekatan ini diarahkan kepada pengurangan hambatan-hambatan
struktural, memberi ruang untuk melakukan terobosan (deregulasi, debirokrasi)
atau keleluasaan untuk bertindak, memberikan penghargaan terhadap prestasi, dan
memberi kewenangan lebih luas kepada unit organisasi atau jabatan yang lebih
rendah.
Pendekatan
aksi dan belajar langsung diarahkan untuk mendorong kebiasaan empiris,
menjadikan kinerja sebagai ajang pembelajaran, dan melakukan perubahan
berdasarkan hasil belajar. Diharapkan dengan aksi dan belajar langsung
tersebut, profesionalisme dan kemampuan belajar sekaligus kemandirian akan
terus meningkat. Kegagalan dan kesalahan masa lalu harus dapat ditolerir karena
akan digunakan sebagai bahan pembelajaran. Dalam konteks otonomi daerah,
pemerintah daerah pasti mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi pengalaman ini
dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerjanya menuju otonomi yang
dikehendaki.
Pendekatan
perbaikan berkesinambungan berkenaan dengan upaya untuk terns melakukan
tindakan koreksi melalui proses feedback dari program-program yang telah
selesai dikerjakan. Pada waktu yang lampau, tradisi evaluasi dan koreksi ini
jarang dilakukan. Melalui pendekatan berkesinambungan ini,
kekurangan-kekurangan pada input, proses, dan feedback serta
kegagalan dalam menyesuaikan dengan lingkungan, dapat dikoreksi. Dalam
pendekatan ini, kegiatan masa mendatang hams dilihat sebagai kesinambungan masa
lampau. Untuk menuju pada titik otonomi daerah yang diinginkan maka perbaikan
berkesinambungan ini sangat diperlukan.
Dalam
penyelenggaraan pengembangan kapastitas pemerintahan daerah harus disadari
banyaknya hambatan, halangan, dan rintangan yang mungkin akan dihadapi guna
kesuksesan program tersebut.
Hambatan-Hambatan Dalam Capacity Building.
Hambatan-hambatan
dalam pembangunan kapasitas ini meliputi beberapa hal, antara lain resistensi legal-prosedural, resistensi
dari pimpinan khususnya supervisor (pimpinan menengah dan bawah); resistensi
dari staff itu sendiri; resistensi konseptual; dan juga mispersepesi tentang
pembangunan kapasitas.
Resistensi
legal-prosedural, biasanya digunakan oleh pihakpihak yang kurang atau tidak
mendukung program pembangunan kapasitas ini dengan berbagai alasan. Walaupun
barangkali penyebab utamanya adalah rendahnya motivasi mereka untuk berinovasi,
berkompetisi serta tidak mau melakukan perubahan. Hal ini karena perubahan
merupakan sesuatu yang dinamis dan jelas-jelas menolak faham dari kelompok status-quo.
Resistensi
dari pimpinan, khususnya supervisor ini mendasarkan diri pada argumen bahwa
dengan pembangunan kapasitas, maka mau tidak mau kemampuan staff akan meningkat
dan bisa saja mengancam kedudukan struktural mereka. Ini persepsi yang
berlebihan tetapi bisa dimaklumi karena aspek motivasi dan kebutuhan kekuasaan.
Resistensi
dari staf, yang bervariasi bisa kecil ataupun besar tergantung kultur dan
suasana yang ada dalam lingkungan organisasi tertentu. Hambatan yang paling
utama adalah bahwa pembangunan kapasitas merupakan sebuah bentuk inovasi atau
perubahan sehingga mereka mesti melakukan perubahan atau usaha-usaha inovatif
lainnya. Mungkin ada sebagian staff yang kurang dinamis dan tidak positif
menyambut perubahan sehingga berdampak negatif terhadap program pembangunan
kapasitas tersebut.
Resistensi
konseptual terhadap konsep pembangunan kapasitas muncul karena program
pembangunan kapasitas menimbulkan pekerjan dan beban yang harus ditanggung oleh
semua elemen dalam organisasi tertentu. Mereka berpendapat bahwa dengan lebih
aktif akan menambah beban kerja mereka, padahal beban kerja ini belum tentu
berkorelasi dengan penambahan upah.
Kemudian
adanya mispersepsi bahwa capacity building akan menimbulkan self capacity
building. Artinya kemampuan individu menjadi diagung-agungkan tanpa melihat
aspek-aspek lainnya. Padahal, koordinasi, kooperasi, kolaborasi, kerjasama dan
berbagai elemen dalam organisasi terse but sangat menentukan keberhasilan
program pembangunan kapasitas sebuah organisasi. Inilah persepsi keliru yang
sering terjadi dalam konteks keorganisasian dewasa ini.
Dari uraian
tadi, lalu implikasi nyata apakah yang diharapkan dari prakarsa capacity
building bagi pemerintah daerah (Pemda) dalam menuju good governance
tersebut?
Pertama, mempertegas Dasar Acuan kinerja Pemerintah Daerah. Sebagai organisasi pemerintah yang mengemban
fungsi pelayanan publik (public service) maka aparatur pemda diharapkan
dapat merefleksikan visi, misi, dan tujuan sebagai dasar acuan sebuah
organisasi publik. Ini perlu ditekankan lebih dahulu karena Pemda berbeda
dengan organisasi swasta, yakni Pemda merupakan non profit oriented
organization meski sama-sama bersentuhan dengan kepentingan publik. Dalam
hal inilah perlu lahirnya kepala daerah Bupati/Walikota, pegawai atau aparatur
daerah yang tidak saja mampu memahami susunan pemerintahan daerah dan dasar
tata kerjanya seperti Keppres, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah (Perda) dan
sebagainya, tetapi juga mengetahui untuk apa organisasi pemda dibentuk, apa
tujuannya dan bagaimana meningkatkan kenerjanya untuk kepentingan masyarakat
luas di daerahnya.
Kedua, Peningkatan manajemen
publik Pemda. Yakni meningkatnya
penggunaan managerial skill dalam kepegawaian daerah, pemanfaatan
prosedur administrasi kerja dan sistem akuntabilitas keuangan daerah yang lebih
baik, menguatnya tanggungjawab, motivasi dan kepuasan kerja diantara pegawai atau
aparatur Pemerintah Daerah. Indikasinya yakni adanya kualitas pelayanan (quality
of service) seperti, kecepatan (speed), ketepatan (accuracy), murah/terjangkau,
transparan serta adil, sebagai wujud dari kepuasan masyarakat.
Ketiga, Meningkatnya kemampuan organisasi Pemda. Sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan
di daerah, organisasi Pemda bersama seluruh network-nya hendaknya dapat
dibangun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan; karakteristik, potensi dan
kebutuhan Daerah, kewenangan pemerintahan yang dimiliki Daerah, kemampuan
keuangan Daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, serta pengembangan pola
kerjasama (partnership) antar-daerah atau dengan pihak ketiga (private).
Indikatornya biasa disebut responsiveness yakni keselarasan antara;
program organisasi dan kegiatan pelayanan seperti prosedur, aturan kerja,
rencana umum, dengan kebutuhan aspirasi publik.
Keempat, menguatnya kemampuan adaptasi Pemda. Program capacity building pada dasarnya
bertujuan agar berkemampuan jangka panjang (long term capacity). Yakni
kapasitas Pemda yang berkelanjutan meskipun berada dalam situasi perubahan baik
di lingkungan internal maupun eksternal. Indikatornya dalam hal ini adalah
adaptif, yakni; adanya konsistensi dalam pencapaian tujuan, produktifitas
berkelanjutan (sustainable productivity) berupa keberhasilan sebuah
sistem dalam memobilisasi input resources (man, money, methods, material,
machine) dalam proses (organizing, participation, coordinating, decision
making) dan mengelola feed back (raw material), serta kemampuan
bertahan dalam situasi ketidakpastian seperti perubahan ekonomi global, situasi
keamanan (misalnya, isu terorisme seperti sekarang ini, atau konflik horisontal
di daerah), meningkatkan kepekaan terhadap kesadaran kritis masyarakat dsb.
Meskipun
disadari penilaian terhadap good governance bagi setiap pihak akan
memiliki alasan dan ukurannya sendiri, namun setidaknya itulah gambaran besar
indikator good governance bagi Pemda dalam menyelenggarakan pengembangan
kapasitas atau capacity building.
Dari
uraian-uraian di atas, bisa kita garis bawahi bahwa makna penting prakarsa capacity
building pada prinsipnya berupaya menciptakan suatu dynamic complexity yang
harus dikelola pemerintah daerah agar terwujud pemerintahan yang baik (good
governance). Di mana dalam pembahasan ini dapat kita indentifikasi adanya
dua ranah pendekatan; contextual constraints, mengenai makna, faktor
pengaruh, hambatan capacity building itu sendiri, dan dynamic
process-nya yang meliputi dimensi-dimensi pengembangan kapasitas seperti human
resource development, organizational strengthening dan institutional
reform, dalam situasi pengaruh lingkungan internal dan eksternal.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan penyelenggaraan pengembangan
kapasitas bagi pemerintah daerah;
Pertama, perlu dihubungkan program capacity
building dengan tujuan-tujuan kebijakan masa transisi (link capacity
building to policy goals of the transition process). Pengembangan kapasitas
dalam masa transisi harus diselaraskan dengan tujuan isi kebijakan tertentu.
Misalnya, membuka masuknya ide-ide aktual, keahlian dan teknik-teknik
manajemen baru yang konsisten dengan a market economy.
Kedua, dalam pengembangan kapasitas kenali
kemungkinan kegagalan dan mekanisme perencanaan yang menyangkut program ini (recognize
the possibility of failure and plan mechanisms to deal with it). Manajemen
dalam capacity building harus bisa mengenali setiap pergeseran yang
terjadi, termasuk penundaan program maupun pembatalannya. Seperti dikemukakan Bikales
(dalam Grindle 1997: 454); " .. even in a transition setting, we
cannot take for granted the recipient's incentive to focus on long-term
national goals". Dalam era transisi, meskipun terbuka terhadap
informasi, bagaimanapun juga tetap perlu mengkritisi setiap masukan baru karena
menyangkut kepentingan nasional jangka panjang.
Ketiga, dalam program capacity building, jangan
mengabaikan adanya kemungkinan dampak politik dari bantuan luar negeri (don't
disregard the political impact of foreign aid). Keterlibatan bantuan asing,
baik dalam bentuk teknis maupun finansial akan sulit dihindari dalam program
pengembangan kapasitas. Namun bantuan luar negeri bisa memiliki dampak besar
bagi politik domestik. Bantuan cenderung mendukung status quo lewat pengurangan
tekanan ekonomi untuk menekan inisiatif perubahan dari bawah atau bisa
mengalihkan fokus program pada tujuan rekanan tertentu (focus not on the
underlying goals, but on any specific counterpart).
DAFTAR PUSTAKA
African Capacity Building Foundation (ACBF), 2001, Capacity
Needs Assessment: A Conceptual Framework, in ACBF Newsletter Vol. 2, p.
9-12
Blakely, Edward.J., 1994, Planning Local Economic
Development, Theory and Practice, 2nd edition, Sage Publication
Brown, Lisanne; LaFond Anne; Macintyre, Kate, 2001, Measuring
Capacity Building, Carolina Population Centre/University of North Carolina,
Chapel Hill
Eade, D., 1998, Capacity Building: An Approach to
People-Centered Development, Oxford, VK: Oxfam, GB
Edralin, J .Sl, 1997, The New Local Governance and
Capacity Building: A Strategic Approach, Regional Development Studies,
Vol. 3, p.l48-150
Finn, J.L., dan Barry Checksowai, 1998, Young People
as Competent Community, Builders: A Challenge to Social Work", "Social
Work", Vol 43, p. 4-6
Fiszbein, A., 1997, The Emergence of Local Capacity:
Lesson From Columbia, World Development, Vol. 25 (7), p. 1029-1043
Goldberg,
Lenny, 1996, Come The Devoluion, The American Prospect, Winter
Grindle, M.S., (editor), 1997, Getting Good
Government: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries, Boston,
MA : HArvard Institue for International Development.
Ikhsan, M., Pengelolaan Aset Organisasi Yang Berbasis
Pengetahuan, Jurnal Forum [novasi, Capacity Building & Good Governance, VolA, Nopember
2002, h.11, PPs PSIA-FISIP VI
Indrajit, Richardus Eko, 2002, Electronic Government, Strategi
Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi
Digital, ANDI Yogyakarta.
Kingsley, Thomas G., 1996, Perspectives on Devolution,
Journal of The American Planning Association, Vol. 62, No.4, p. 3-5,
Autumn
Mawhood, Philip, 1987, Local Government In The Third
World, New York: John Wiley & Son
Mentz, J.C.N., 1997, Personal and Institution Factor
in Capacity Building and Institutional Development, Working Paper No. 14,
Maastrict: ECDPM
Milen, Anni, 2001, What Do We Know About Capacity
Building ?, An Overview of
Existing Knowledge and Good Practice, World Health Organization (Department
of Health Service Provision), Geneva
Morrison, Terrence, 2001, Actionable Learning - A
Handbook for Capacity Building Through Case Based Learning, ADB Institute
Rondinelli, 1983, Government Decentralization in
Comparative Perspective: Theory And Practice in Developing Countries. International
Review of Administrative Sciences. No.1
Senge, P., 1990, The Fifth Discipline, The Art and
Practice of Learning Organization, London:Century
Sparringga, Daniel, A., 2001, "Wacana Pemerintahan
yang Baik Good Governance dan Transisi Demokrasi", Jurnal Forum Inovasi,
Capacity Building & Good
Governance, PPs PSIA-FISIP VI Vol. 1 , p. 53-58
Whittaker James B, 1995, The Government Performance
and Result Act of 1993: A
Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement, Educational
Services Institute, Arlington, Virginia.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari
Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Van
Rooyen, EJ., 1999, "Capacity Building in Developing Countries:
Human and
Environmental Dimensions", dalamAgrica Today, Vol. 46 No.2: 32-36
Yuwono, Teguh, 2003, "Capacity Building in
the Local Government: Concept and Analysis", Makalah pada Seminar
Intemasional Democracy and Local Politics diselenggarakan oleh PSSAT UGM,
STPMD "APMD, UAJY, Yogyakarta, 7-8 Januari
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
|
|
Nama Lengkap
|
Prof. Dr. H. R. RIYADI SOEPRAPTO, MS.
|
N I P
|
130 704 329
|
Pangkat / Golongan
|
Pembina, IV/d
|
Tempat/Tanggal Lahir
|
Madiun, 7 Juli 1951
|
Alamat Rumah
|
Jl. Venus 46 Malang 65144
|
Alamat Kantor
|
Fakultas Ilmu Administrasi – Unibraw
Malang
Jl. MT. Haryono 163 Malang
|
Jenis Kelamin
|
Pria
|
Agama
|
Islam
|
Status Perkawinan
|
Menikah
|
Ayah
|
R. Pardikoen Partoprajitno
|
Ibu
|
Sulbiah
|
Nama Istri
|
Dra. Hj. Tuti Wahyuningrum
|
Anak
|
1. Dian
Ika Kartikaningrum
2. Irma
Paramita Sofia
3. Aulia
Rahmayani
|
Pendidikan
|
|
1
|
SR Tulungagung II (1966)
|
2
|
SMP Negeri I Tulungagung (1969)
|
3
|
SMA Negeri Tulungagung (1972)
|
4
|
Fakultas Ketatanegaraan dan
Ketataniagaan, Unibraw-Malang (1978)
|
5
|
Magister Sains Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta (1984)
|
6
|
Doktor di bidang Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Airlangga Surabaya (1997)
|
Pendidikan Tambahan
|
|
1
|
English Language Centre (ELC) IKIP
Malang (1979)
|
2
|
Penataran P4 tipe A di Malang (1979)
|
3
|
Perencanaan Sosial, Universitas
Indonesia, Jakarta (1986)
|
4
|
Penataran P4 Tingkat Nasional di
Malang (1987)
|
5
|
Penataran Akta V baru di Universitas
Brawijaya Malang (1988)
|
Riwayat Kepangkatan, Golongan
|
|
1
|
Capeg (1979)
|
2
|
Asisten Ahli Madya III/a (1980)
|
3
|
Asisten Ahli III/b (1981)
|
4
|
Lektor Muda III/c (1983)
|
5
|
Lektor Madya III/d (1985)
|
6
|
Lektor IV/a (1988)
|
7
|
Lektor Kepala Madya IV/b (1999)
|
8
|
Guru Besar Madya IV/c (2003)
|
9
|
Guru Besar IV/d (2005)
|
Riwayat Pekerjaan
|
|
1
|
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
(STIE) Malangkucecwara (1979-1981)
|
2
|
Dosen Sekolah Tinggi
Ilmu Administrasi (STIA) Malang (1979-1988)
|
3
|
Dosen Tetap Fakultas
Ilmu Administrasi Unibraw Malang (1979-sekarang)
|
4
|
Dosen Pascasarjana
Universitas Brawijaya Malang (1996-sekarang)
|
5
|
Dosen Pascasarjana
Universitas Merdeka Malang (1998-2001)
|
Riwayat Jabatan
|
|
1
|
Kepala Bagian Keuangan PT. “GESERCO”
Properti Cabang Malang (1979-1981)
|
2
|
Ketua Badan
Kerjasama FIA-Unibraw (1997-1998)
|
3
|
Pembantu Dekan III
FIA-Unibraw (1998-2002)
|
4
|
Ketua Yayasan
Universitas Tulungagung (1999-sekarang)
|
5
|
Ketua Laboratorium
OTODA FIA-Unibraw (2002-sekarang)
|
6
|
Pimpinan Redaksi
Jurnal Administrasi Negara FIA-UB (2003)
|
7
|
Ketua Program Studi
S2 Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Unibraw
(2005-sekarang)
|
Keanggotaan Profesi dan Kemasyarakatan
|
|
1
|
Anggota Persadi (1979-sekarang)
|
2
|
Anggota Korpri (1979-sekarang)
|
3
|
Anggota Golkar (1980-sekarang)
|
4
|
Pengurus ISI Cabang Malang (1998-sekarang)
|
Lokakarya
|
|
1
|
Lokakarya Perencanaan Sosial Dalam
Rangka Pengentasan Kemiskinan
di Universitas Indonesia, Jakarta (1987)
|
2
|
Lokakarya Business Plan di Pemda
Probolinggo (1998)
|
3
|
Simposium Kajian Ulang UU No. 22 Tahun
1999 (1999)
|
4
|
Simposium Peran Ilmu Administrasi (2001)
|
5
|
Lokakarya e-Government di Fakultas
Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya Malang (2002)
|
6
|
Seminar Rekonstruksi Politik Indonesia
di Universitas Brawijaya Malang (2002)
|
Karya Penelitian
|
|
1
|
Elit Informal
Dalam Transformasi Administrasi Pemerintahan
Menurut UU No.
5/1979 (1997)
|
2
|
Penyusunan
Rencana Indek Pariwisata (RIP) Kabupaten Nganjuk (1997)
|
3
|
Pengembangan
Potensi Kabupaten Trenggalek Dalam Rangka
Peningkatan PAD
Kabupaten Trenggalek (1997)
|
4
|
Pergeseran Tata
Organisasi Kemahasiswaan Unibraw dan Pengaruhnya
Terhadap Sistem
Kerja Organisasi Kemahasiswaan, DPP FIA (1998)
|
5
|
Bussines Plan Kota Probolingo (1998)
|
6
|
Model Pengembangan Usaha Kecil
Menengah (UKM) Kota Pasuruan (1998)
|
7
|
Indek Pembangunan Manusia Kota
Pasuruan (1999)
|
8
|
Identifikasi Pelayanan Pendidikan
Dasar dan Menengah (2000)
|
9
|
Model Pengentasan Kemiskinan Kota
Pasuruan (2000)
|
10
|
Strategi Manajemen dan
Optimalisasi
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota
Pasuruan (2001)
|
11
|
Pengaruh Bea Siswa Mahasiswa
terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa (2002)
|
12
|
Revisi Propeda, Renstrada
Kabupaten Pasir (2003)
|
13
|
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan di Kabupaten Pacitan (2003)
|
14
|
Penyusunan Rencana Induk
Pariwisata (RIP)
Bonang Binangun Sluke Tahap II
Kabupaten Rembang (2003)
|
Buku-Buku Karangan
|
|
1
|
Aspek-aspek Dalam Meningkatkan
Kualitas Pegawai & Pekerja,
PT. Danar Wijaya, Brawijaya
University Press (1995)
|
2
|
Status & Peran Elit Agama Dalam Proses Pembangunan (Sesudah
Diundangkannya UU No.5 th 1979), PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press (1996)
|
3
|
Pengembangan Pegawai, PT. Danar
Wijaya, Brawijaya University Press (1997)
|
4
|
Elit dan Kekuasaan Masyarakat,
PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press (1998)
|
5
|
Filsafat Ilmu, PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press (1998)
|
6
|
Reliabilitas dan Validitas Dalam
Riset Kualitatif, PT. Danar Wijaya,
Brawijaya University Press (1999)
|
7
|
Manajemen Personalia (Suatu
Pengantar Edisi Satu),
PT. Danar Wijaya, Brawijaya
University Press (1999)
|
8
|
Prinsip-Prinsip Motivasi, PT.
Danar Wijaya, Brawijaya University Press (1999)
|
9
|
Evaluasi Kebijakan Publik, UM
Press (2000)
|
10
|
Perencanaan Evaluasi Kebijakan
Publik, UM Press (2001)
|
11
|
Administrasi Pembangunan, UM
Press (2002)
|
12
|
Interaksionisme Symbolik, Balai
Pustaka Pelajar, Yogyakarta (2002)
|
Publikasi Ilmiah
|
|
1
|
Implikasi UU No. 5/1979 dan Pengaruhnya terhadap
Implementasi Administratif Pemerintahan Desa,
Penerbit Agritek IPM Malang (1999)
|
2
|
Pengembangan Pemberdayaan
Koperasi, Penerbit Agritek IPM Malang (1999)
|
3
|
Pengembangan Pemberdayaan Koperasi Pertanian,
Penerbit Agritek IPM Malang (2000)
|
4
|
Model Pemberdayaan Kelompok Tani Dalam Program
Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
(Studi Kasus di Desa Tempel Krian Kabupaten Sidoarjo),
Penerbit Agritek IPM Malang (2000)
|
5
|
Identifikasi Pelayanan Pendidikan
Dasar dan Menengah, Jurnal IPS dan Pengajarannya, Penerbit Universitas Negeri
Malang (2000)
|
6
|
Strategi Management dan Optimalisasi Rumah Potong Hewan (RPH)
Kota Pasuruan, Penerbit Agritek
IPM Malang (2001)
|
7
|
Model Pengembangan Kemiskinan Kota Pasuruan,
Penerbit Unibraw Malang (2001)
|
8
|
Implementasi UU No. 22/1999 Dalam Perspektif Politik Desentralisasi
(Suatu Evaluasi Yuridis), Penerbit Arena Hukum,
Fakultas Hukum, Unibraw Malang (2002)
|
Kegiatan Pengabdian Masyarakat
|
|
1
|
Memberikan Pelatihan
Kewiraswastaan pada KUD Batu (1997)
|
2
|
Memberikan Kuliah Umum tentang
Good Government pada
Fakultas Ilmu Administrasi UNIRA
Pamekasan (1998)
|
3
|
Pembekalan Wawasan Kebangsaan
Persatuan Nasional Mahasiswa
Ilmu Administrasi Seluruh
Indonesia Korwil Timur. (1998)
|
4
|
Memberikan Pembekalan pada
Anggota Legislatif Kabupaten Sumenep (1999)
|
5
|
Memberikan Pelatihan tentang
Penyusunan Bussines Plan Kota
Probolinggo (1999)
|
6
|
Memberikan Kuliah Umum pada STIA
Bina Banga
Kabupaten Banjarmasing pada Acara
Wisuda Sarjana (1999)
|
7
|
Memberikan Pembekalan pada Anggota
Legislatif Kabupaten Sampang (2000)
|
8
|
Memberikan Pembekalan ten tang
Otonomi Daerah pada
Komesariat PMII Propinsi Jawa
Timur (2001)
|
9
|
Diklat Metodologi Penelitian
Sosial Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Malang (2001)
|
10
|
Diskusi Arah Perkembangan
Pendidikan Kampus di Indonesia
Dalam Era Globalisasi di
Sekretariat HMIFIA (2001)
|
11
|
Diskusi Rutin Pengembangan
Produksi Lokal di Sekretariat HMI Pusat Malang (2002)
|
12
|
Memberikan Pelatihan Strategi
Management Pemasaran pada
Pengrajin Klompen di Desa
Toyomarto, Singosari (2002)
|
13
|
Pemberian Pembekalan Teknik
Penyusunan LPI Bupati
dalam Kaitannya dengan Renstra (2003)
|
14
|
Memberikan Pembekalan tentang
Leadership
pada Komisariat PMII IAIN
Tulungagung (2003)
|
Pengalaman Luar Negeri
|
Studi Banding Bidang Kemahasiswaan Ke
NUS Singapore,
Nanyang Singapore, University of
Malaya di Malaysia,
dan Mahidol
University Thailand (2002)
|
hallo rida,, bagus sekali mteri2nya,, dimana saya bisa dapatkatkan buku The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance)karya H. R Riyadi soepropto, untuk penyusuan skripsi sya,,
BalasHapuskontraktor strengthening
BalasHapus