PENGERTIAN LEMBAGA
DAN ORGANISASI
U
|
ntuk dapat memahami dengan baik konsepsi dan
teori tentang Pengembangan Kelembagaan, maka pada kesempatan pertama ini perlu
kiranya dimengerti apa itu “lembaga” dan “organisasi”, perbedaan di antara keduanya,
serta pelembagaan sebagai proses yang menghubungkannya.
A. Pengertian Lembaga
Istilah
“lembaga”, menurut Ensiklopedia Sosiologi diistilahkan dengan “institusi” --sebagaimana
didefinisikan oleh Macmillan-- adalah merupakan seperangkat hubungan norma-norma,
keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada
kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang.[1]
Sementara
itu, Adelman & Thomas dalam buku yang sama mendefinisikan institusi sebagai
suatu bentuk interaksi di antara manusia yang mencakup sekurang-kurangnya tiga
tingkatan. Pertama, tingkatan
nilai kultural yang menjadi acuan bagi institusi yang lebih rendah
tingkatannya. Kedua, mencakup
hukum dan peraturan yang mengkhususkan pada apa yang disebut aturan main (the
rules of the game). Ketiga,
mencakup pengaturan yang bersifat kontraktual yang digunakan dalam proses
transaksi. Ketiga tingkatan institusi di
atas menunjuk pada hirarki mulai dari yang paling ideal (abstrak) hingga yang
paling konkrit, dimana institusi yang lebih rendah berpedoman pada institusi yang
lebih tinggi tingkatannya.[2]
Pengertian
lain dari lembaga adalah “pranata”.
Koentjaraningrat misalnya, lebih menyukai sebutan pranata, dan
mengelompokkannya ke dalam 8 (delapan) golongan, dengan prinsip penggolongan
berdasarkan kebutuhan hidup manusia.
Kedelapan golongan pranata tersebut adalah sebagai berikut:[3]
(a)
pranata-pranata yang bertujuan
memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, yang disebut dengan kinship
atau domestic institutions;
(b)
pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, yaitu untuk mata pencaharian, memproduksi, menimbun,
mengolah, dan mendistribusi harta dan benda, disebut dengan economic
institutions. Contoh: pertanian,
peternakan, pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi,
penjualan, dan sebagainya;
(c)
pranata-pranata yang bertujuan
memenuhi kebutuhan penerangan dan pendudukan manusia supaya menjadi anggota
masyarakat yang berguna, disebut educational institutions;
(d)
pranata-pranata yang bertujuan
memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta di sekelilingnya,
disebut scientific institutions;
(e)
pranata-pranata yang bertujuan
memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahan dan untuk rekreasi,
disebut aesthetic and recreational institutions;
(f)
pranata-pranata yang bertujuan
memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam
gaib, disebut religious institutions;
(g)
pranata-pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok
secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, disebut political
institutions. Contoh dari institusi
politik di sini adalah pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian,
kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya; dan
(h)
pranata-pranata yang mengurus
kebutuhan jasmaniah dari manusia, disebut dengan somatic institutions.
Hendropuspito
lebih suka menggunakan kata institusi daripada lembaga. Menurutnya institusi merupakan suatu bentuk
organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan
dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan
sosial dasar. Unsur penting yang
melandasi sebuah institusi menurut Hendropuspito dapat dilihat dari unsur
definisi sebagai berikut:[4]
- Kebutuhan
sosial dasar (basic needs)
Kebutuhan sosial dasar terdiri atas sejumlah nilai material,
mental dan spiritual, yang pengadaannya harus terjamin, tidak dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor kebetulan atau kerelaan seseorang. Misalnya: kebutuhan sandang, pangan,
perumahan, kelangsungan jenis/keluarga, pendidikan, kebutuhan ini harus
dipenuhi.
- Organisasi
yang relatif tetap
Dasar pertimbangannya mudah dipahami, karena
kebutuhan yang hendak dilayani bersifat tetap.
Memang harus diakui bahwa apa yang dibuat oleh manusia tunduk pada hukum
perubahan, tetapi berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa institusi pada
umumnya berubah lambat, karena pola kelakuan dan peranan-peranan yang melekat
padanya tidak mudah berubah.
- Institusi
merupakan organisasi yang tersusun/terstruktur
Komponen-komponen penyusunnya terdiri dari
pola-pola kelakuan, peranan sosial, dan jenis-jenis antarrelasi yang sifatnya
lebih kurang tetap. Kedudukan dan
jabatan ditempatkan pada jenjang yang telah ditentukan dalam struktur yang
terpadu.
- Institusi
sebagai cara (bertindak) yang mengikat
Keseluruhan
komponen yang dipadukan itu dipandang oleh semua pihak yang berkepentingan
sebagai suatu bentuk cara hidup dan bertindak yang mengikat. Mereka menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam suatu institusi harus disesuaikan dengan aturan institusi. Pelanggaran terhadap norma-norma dan
pola-pola kelakuan dikenai sanksi yang setimpal. Dalam institusi keterikatan pada norma dan
pola dianggap begitu penting bahkan diperkuat dengan seperangkat sanksi demi
tercapainya kelestarian dan ketahanan secara kesinambungan.
Sementara
Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya norma-norma dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Institusi merupakan pola-pola yang telah
mempunyai kekuatan tetap dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan haruslah
dijalankan atas atau menurut pola-pola itu.[5]
Norman
T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang banyak berkecimpung dalam penelitian
lembaga lokal, menyatakan sangat sulit sekali mendefinisikan institusi, karena
pengertian institusi sering dipertukarkan dengan organisasi.
..…
institutions are complexes of norms and behaviors that persist over time
serving collectivelly valued purposes.[6]
Institusi
atau lembaga merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan
(digunakan) selama periode waktu tertentu (yang relatif lama) untuk mencapai
maksud/tujuan yang bernilai kolektif (bersama) atau maksud-maksud lain yang
bernilai sosial.
Dari
berbagai definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga itu tidak
hanya organisasi-organisasi yang memiliki kantor saja tetapi juga aturan-aturan
yang ada di masyarakat dapat dikategorikan sebagai suatu lembaga. Beberapa contoh lembaga yang banyak dijumpai
di perdesaan misalnya aturan dalam pinjam-meminjan uang atau perkreditan, ketentuan
dalam jual beli hasil pertanian, aturan-aturan dalam sewa-menyewa,
kaidah-kaidah dalam bagi hasil, dan sebagainya.
B. Perbedaan Lembaga/Kelembagaan dengan
Organisasi
Amitai Etzioni mengatakan bahwa masyarakat terdiri
organisasi-organisasi, dimana hampir dari semua dari kita melewati masa hidup
dengan bekerja untuk kepentingan organisasi.
Dengan demikian organisasi adalah suatu unit sosial (pengelompokan
sosial) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan
dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Namun untuk mendefinisikan organisasi dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara. Hal ini karena organisasi
merupakan sesuatu yang abstrak, sulit dilihat namun bisa dirasakan
eksistensinya.[7]
Secara
umum, definisi organisasi merupakan rangkaian kegiatan kerjasama yang dilakukan
beberapa orang dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Peter M. Blau & W. Richard Scott
mendefinisikan bahwa organisasi itu memiliki tujuan dan memiliki sesuatu yang
formal, ada administrasi staf yang biasanya eksis dan bertanggung jawab serta
adanya koordinasi dalam melaksanakan kegiatan anggotanya.[8]
S.B. Hari Lubis & Martani Huseini (1987:1) mendefinisikan organisasi
sebagai satu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi
menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi
dan tugasnya masing-masing, yang sebagai satu kesatuan mempunyai tujuan
tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara
tegas dari lingkungannya.[9]
Selanjutnya, menurut Lubis & Huseini terdapat 3
(tiga) pendekatan yang lazim digunakan dalam menganalisis organisasi, yaitu:
(1) pendekatan Klasik, (2) pendekatan Neo-Klasik, dan (3) pendekatan Moderen
atau pendekatan Sistem. Pertama,
pendekatan Klasik, yang menurut pandangan Taylor
lebih menekankan akan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan. Dalam pendekatan ini peran pekerja dipisahkan
dari peran manajer. Pekerja
diklasifikasikan pada satu bidang yang hanya bertugas melaksanakan pekerjaan
saja, sedangkan manajer bertugas mengelola metode kerja yang sebaiknya
digunakan. Akibatnya, pekerja merasa
seperti mesin yang dikuras tenaganya untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Kedua, pendekatan
Neo-Klasik. lebih menekankan akan pentingnya hubungan antarmanusia (human
relations) bagi keberhasilan suatu organisasi dan kurang memperhatikan
struktur pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab organisasi. Interaksi sosial atau human relations
ini akan memunculkan kelompok-kelompok nonformal dalam suatu organisasi yang
memiliki norma sendiri dan berlaku serta menjadi pegangan bagi seluruh anggota
kelompok. Norma kelompok ini berpengaruh
terhadap sikap maupun prestasi anggota kelompok. Interaksi sosial ini perlu diarahkan sehingga
dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Ketiga, pendekatan
Moderen, yang menekankan pentingnya faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
dan dipengaruhi organisasi, dimana organisasi merupakan bagian dari
lingkungannya. Keterbukaan dan
ketergantungan organisasi terhadap lingkungannya menyebabkan bentuk organisasi
harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi itu berada.
Dalam sudut
pandang yang lain, organisasi dipandang sebagai wadah berbagai kegiatan dan
sebagai proses interaksi antara orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sondang P. Siagian misalnya, menyebutkan
bahwa organisasi sebagai wadah melihat organisasi sebagai struktur yang
memiliki jenjang hirarki jabatan manajerial, berbagai kegiatan operasional,
komunikasi yang digunakan, informasi yang digunakan serta hubungan antarsatuan
kerja.[10] Kemudian organisasi sebagai wadah, melihat
pemilihan dan penggunaan tipe organisasi tertentu, apakah bertipe lini, lini
dan staf, fungsional, matrik, dan panitia.
Kemudian organisasi dipandang sebagai suatu proses interaksi memiliki
anggapan bahwa keberhasilan satuan-satuan kerja di dalam organisasi dalam
melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi interaksi antaranggota, satuan-satuan
kerja serta organisasi dengan lingkungannya.
Untuk meneliti sebuah organisasi, tidak terlepas dari
keberadaan institusi. Menurut Talcott
Parson, masyarakat itu merupakan kumpulan individu yang membawa budaya
masing-masing dengan membentuk lembaga atau institusi sendiri.[11] Menurutnya, sistem-sistem sosial yang ada di
masyarakat itu dapat dilihat sebagai suatu organisasi, yang apabila akan
diteliti akan dilihat pula nilai-nilai yang ada pada lembaga serta
aturan-aturan yang mengikat individu.
Kemudian diimplementasikan nilai-nilai adaptasi, prosedur serta norma
atau pola-pola pada suatu organisasi. Lebih
lanjut, konflik pada suatu subsistem dalam organisasi menurut analisis Parson
akan mempengaruhi subsistem lainnya. Untuk ini perlu ada kesetimbangan diantara
semua subsistem.[12]
Kemudian,
Robert Presthus[13]
mengatakan bahwa pada sebuah organisasi besar akan ditemukan spesialisasi,
hierarki, status, efisiensi, rasionalisasi, dan kooptasi. Spesialisasi terjadi pada tenaga kerja,
hierarki pada bagan organisasi yang dimulai pada paling atas hingga paling
bawah, status dibuat untuk melihat adanya tanggungjawab, rasa hormat, rasa
istimewa yang dimiliki pada posisi hierarki.
Kooptasi adalah kecenderungan para elit memberi tanda sesuatu dengan
alat untuk menjaga monopoli. Dalam ukuran
organisasi besar juga sangat tergantung pada volume kerja, sumber modal,
banyaknya pelanggan dan klien, dan luas tanah pada aktivitasnya. Sementara efisiensi dalam hal ini merupakan
hal yang terpenting bagi organisasi untuk dapat bertahan.
Bila
dilihat dari perspektif ekonomi, Donn Martindale mengatakan bahwa besarnya
organisasi sangat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu pembagian tenaga kerja,
hubungan formal, dan rasionalisasi.[14] Pertama, pembagian tenaga kerja,
menurut teori organisasi klasik akan meningkatkan efisiensi. Namun ketika mesin-mesin digunakan membantu
tugas manusia, skill akan berpengaruh dalam menggerakkan mesin-mesin
tersebut. Organisasi besar membutuhkan
adanya spesialisasi.
Kedua,
hubungan formal, dimana individu yang menjadi anggota dalam suatu organisasi
saling berinteraksi yang bersifat formal.
Sifat formal dalam hubungan ini diakibatkan adanya hirarki jabatan yang
mengatur jalannya suatu organisasi.
Birokrasi di dalam organisasi berdampak pada tingkah laku individu dalam
berhubungan. Artinya birokrasi di dalam
organisasi ini akan mengatur pola hubungan tingkah laku individu dalam
berinteraksi.
Ketiga, rasionalitas,
yaitu bagaimana suatu organisasi memandang sesuatu secara rasional. Misalnya hubungan antara tenaga kerja dengan
beban kerja yang harus dilaksanakan, peningkatan kapabilitas individu untuk meningkatkan
skill sebagai upaya menjalankan tugas-tugas organisasi.
Dengan
demikian, untuk meneliti sebuah kelompok, menurut Martindale harus melihat
kegiatan yang dihasilkan kelompok tersebut, yang meliputi: pengambilan
keputusan, komunikasi, penyelesaian tugas, dan pembagian hasil pada suatu
kelompok.[15] Kegiatan-kegiatan ini merupakan rangkaian
kegiatan suatu organisasi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Dengan demikian di dalam suatu lembaga ini
terkandung prinsip-prinsip ekonomi.
Walaupun
organisasi membutuhkan adanya pola-pola perilaku yang membawa keefektifan suatu
organisasi[16],
namun definisi lembaga di atas, dapat dilihat adanya perbedaan organisasi
dengan lembaga atau institusi. Menurut
Uphoff, organisasi merupakan struktur yang mengakui dan menerima adanya peranan.[17] Organisasi bergerak pada bidang formal dan
informal dimana struktur yang ada, dihasilkan dari adanya interaksi diantara
peranan yang semakin kompleks.
Dari
kedua definisi di atas dapat dilihat bahwa lembaga hadir untuk memenuhi
kebutuhan satu kelompok manusia dan bukan kebutuhan perorangan. Naluri manusia yang membutuhkan orang lain
untuk berinteraksi, seperti misalnya ketertarikan terhadap seks pada diri
manusia, yang mengakibatkan manusia untuk hidup berkelompok. Ada
tua dan muda serta laki-laki dan perempuan yang secara harfiah manusia
membutuhkan bantuan orang lain. Kemudian
akan terjadi aksi sosial, tingkah laku sosial di dalam kelompok, sehingga
tercipta suatu lembaga yang memenuhi kebutuhan seks manusia. Begitu pula akan lembaga-lembaga lain yang
hadir di sekitar masyarakat itu sendiri.
Pembahasan
ini lebih menitikberatkan pada sebuah lembaga yang dalam memenuhi kebutuhan
anggotanya, menggunakan prinsip-prinsip organisasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Martindale
bahwa lembaga atau institusi merupakan suatu pola hubungan yang dicerminkan
oleh kelompok, dimana melihat hubungan tingkah laku manusia yang telah
terorganisasi pada sebuah kelompok.[18] Untuk
melihat hubungan tingkah laku tersebut, tidak dapat dilakukan dengan melihat
tingkah laku satu orang atau beberapa orang sebagai sampel. Hal ini karena pada sebuah kelompok terdiri
dari beberapa individu yang memiliki karakter yang berbeda dan individu ini
saling mempengaruhi sehingga tidak dapat berdiri sendiri.
Terlalu
banyak orang yang mencampuradukkan pengertian dan pemahaman tentang kelembagaan
(institution) dan organisasi (organization/institute). Karena itu begitu banyak pula orang atau
badan pelaksana pembangunan yang menyatakan akan melakukan “pengembangan
kelembagaan” tetapi ternyata (yang dilakukan) hanyalah membentuk satu
organisasi baru di komunitas dalam rangka proyek itu.
Kekeliruan pemahaman seperti ini telah
menjadi sangat umum sehingga organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah kaprah” di mana-mana. Hal ini pulalah yang mengakibatkan
pengembangan kelembagaan diterjemahkan secara salah kaprah menjadi pembentukan organisasi. Berulangkali kekeliruan ini dilakukan oleh
badan-badan dan organisasi pelaksana pembangunan (baik lembaga donor,
pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat), terutama dalam pelaksanaan
pembangunan yang berhubungan langsung dengan suatu warga.
Kekeliruan fatal dan klasik ini diantaranya
dicontohkan oleh Tumpal M.S. Simanjuntak dalam kasus pembentukan organisasi
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD).[19] Seperti kita ketahui, kedua organisasi
tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Desa, dan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980
tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, yang kemudian diterjemahkan lebih lanjut
oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 Tahun tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
Kenyataannya, setelah
sekian puluh tahun, ternyata tidak ada ketahanan apapun yang telah
terlembagakan di masyarakat desa/kelurahan. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan
tahun 1997 yang memporakporandakan ketahanan masyarakat baik di perdesaan
maupun di perkotaan telah menjadi bukti paling sahih betapa pembentukan organisasi LKMD/LMD telah menjadi instrumen yang keliru dalam
rangka mengembangkan kelembagaan ketahanan masyarakat desa --termasuk di dalamnya
ketahanan ekonomi.
Dalam konteks Pengembangan Kelembagaan,
hal yang seharusnya dilakukan sedikitnya harus mencakup upaya memberikan pemahaman yang benar
terhadap istilah organisasi (organization/institute),
kelembagaan (institution), dan juga pelembagaan
atau melembagakan (institutionalization/
institutionalizing).
Norman T. Uphoff, salah
seorang penggagas People-Centered
Development Forum mengajukan definisi sederhana yang membedakan antara
organisasi (organization) dengan
kelembagaan (institution) sebagai
berikut:[20]
Organizations are
structures of recognised and accepted roles. Institutions are complexes of
norms and behaviours that persist over time by serving collectively (socially)
valued purposed.
(Organisasi adalah struktur peran yang telah dikenal
dan diterima. Kelembagaan/pranata adalah
serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan –atau digunakan-- selama
periode waktu tertentu --yang relatif lama-- untuk mencapai maksud/tujuan
bernilai kolektif/ bersama atau maksud-maksud yang bernilai sosial).
Ada beberapa tipe kelembagaan
(pranata). Ada kelembagaan yang bukan organisasi (institutions that are not organizations),
ada kelembagaan yang juga merupakan organisasi (institutions that are organizations), dan organisasi yang bukan
kelembagaan (organizations that are not
institutions).
Gambar 1.
Kelembagaan dan Organisasi
Penjelasaan
lebih rinci tentang pemahaman terhadap kelembagaan dan organisasi mengacu pada
Gambar 1 di atas diuraikan dengan contoh-contoh sebagai berikut:[21]
R
Sebuah Bank dapat disebut sebagai
organisasi karena di dalamnya terdapat struktur peran-peran yang telah dikenal
dan diakui. Ada peran Kepala (Direktur),
ada peran Bagian Kredit, ada peran Bagian Pelayanan Nasabah (Customer Service), dan sebagainya.
Sebagai kelembagaan (institution), Bank sebagai penyedia jasa untuk melakukan “simpan-pinjam”
uang, penggunaan jasa Bank sudah menjadi norma dan perilaku masyarakat luas
yang memiliki dan memerlukan uang.
Karenanya Bank adalah kelembagaan yang juga organisasi.
R
Undang-undang Perbankan sebagai suatu
kelembagaan (institution) dalam
rangka penyediaan pelayanan jasa keuangan sudah menjadi kebutuhan bersama suatu
kelompok warga, bahkan masyarakat dunia. Berbagai aturan dan tata cara yang diatur di
dalam undang-undang itu telah menjadi norma
dan perilaku umum dalam kegiatan
simpan-pinjam uang.
Tetapi Undang-undang Perbankan tidak memiliki
Ketua (Direktur), Kepala Bagian, dan sebagainya. Karena itu Undang-undang Perbankan dalam hal
ini adalah kelembagaan (institution)
yang bukan organisasi.
R
Kelompok arisan ibu-ibu di suatu
Rukun Tetangga (RT) adalah sebuah organisasi karena di dalamnya ada struktur
peran yang telah dikenal dan diakui oleh para peserta arisan itu. Kelompok arisan tersebut dapat bubar (tidak
diteruskan keberadaannya) setelah semua anggota mendapat giliran memperoleh
uang arisan. Karenanya, dan terutama atas pertimbangan persistensinya, sebuah
kelompok arisan sebagaimana digambarkan di atas belum dapat disebut sebagai
suatu kelembagaan (institution).
Menyimak penjelasan di atas (terutama butir
ketiga), sebuah organisasi suatu saat dapat saja menjadi kelembagaan, tetapi
itu baru terwujud jika fungsi dan peran organisasi itu dalam kaitannya dengan
kepentingan warga, diakui secara luas sebagai suatu norma dan perilaku bersama.
Dengan demikian, dan jikapun diinginkan,
agar suatu organisasi dapat menjadi kelembagaan (institution), diperlukan waktu cukup lama hingga aturan dan tata
cara menyalurkan dan memperoleh pelayanan dari organisasi itu diakui secara
luas sebagai norma dan perilaku bersama (kolektif) sebagaimana yang dicontohkan
pada Bank. Organisasi yang juga adalah
kelembagaan seperti halnya Bank adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
misalnya.
Dalam tataran praktis, ketika masyarakat
sudah mulai memberi istilah “plesetan”
untuk LKMD (Lalu Ketua Makan Duluan) dan untuk KUD (Ketua Untung Duluan), maka sesungguhnya
kedua organisasi “bentukan top-down” tersebut
dengan sendirinya telah dinyatakan gagal mengembangkan norma dan perilaku
positif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak. Karenanya keduanya tidak lagi atau mungkin
tidak pernah layak disebut sebagai suatu kelembagaan (institution).
Jika suatu organisasi pada akhirnya
diharapkan akan dilembagakan maka upaya yang harus dilakukan haruslah merupakan
suatu proses pelembagaan (institutionalizing)
yang digambarkan pada bahasan berikutnya.
C. Pelembagaan atau Institusionalisasi
Perlu diingat bahwa tidak semua pelembagaan
selalu berarti positif. Sebagai contoh,
pelembagaan birokrasi di mana-mana
telah melahirkan berbagai persoalan yang tidak sedikit. Persoalan inefisiensi, kelambanan pelayanan,
proses dan mekanisme yang bertele-tele dan berbiaya tinggi, korupsi, sampai
krisis kepercayaan yang sangat luas di berbagai negara adalah akibat dari
pelembagaan birokrasi.
Sebuah organisasi suatu saat dapat saja
menjadi suatu lembaga dengan melalui proses pelembagaan atau institusionalisasi. Organisasi dapat terinstitusionalisasi dengan
beberapa persyaratan, diantaranya (a) adanya norma yang dihayati masyarakat
sebagai anggotanya, (b) organisasi ini memberikan keuntungan bagi anggotanya,
serta (c) adanya stabilitas dan kapabilitas untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Jika demikian, dan jikapun
diinginkan agar suatu organisasi dapat menjadi kelembagaan, diperlukan waktu
cukup lama hingga aturan dan tata cara menyalurkan dan memperoleh pelayanan
dari organisasi itu diakui secara luas sebagai norma dan perilaku
bersama (kolektif).
Norma-norma yang ada di
masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Soerjono Soekanto membedakan kekuatan
mengikat norma-norma ini dengan empat pengertian, yaitu: cara (usage),
kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (customs).[22] Sedangkan pelembagaan suatu norma pada suatu
organisasi lebih lanjut menurut Soekanto dapat dilakukan apabila norma-norma
itu telah (a) diketahui, (b) dipahami, (c) ditaati, dan (d) dihargai.[23]
Norma yang ada di suatu organisasi bila baru pada tingkatan
diketahui anggotanya maka tingkat pelembagaannya paling rendah. Namun, norma itu dikatakan telah dimengerti
jika ukurannya masing-masing anggota mengetahui hak dan kewajiban dan
menjalankan organisasi sesuai dengan ketentuan organisasi. Tahapan norma yang ditaati dapat
dilihat dari peningkatan dari tahap pemahaman akan hak dan kewajiban yang
mentaati segala ketentuan yang berlaku.
Kemudian bila telah ditaati, maka norma itu akan berkembang dengan
adanya penghargaan akan norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
atau organisasi.
Gambar 2.
Proses
Pelembagaan (Institutionalizing)
Secara
lebih ringkas Simanjuntak menyebutkan beberapa langkah yang dilakukan dalam proses
institusionalisasi atau pelembagaan, yaitu:[24]
(a)
norma dan perilaku baru dikembangkan
dan disepakati bersama;
(b)
norma dan
perilaku baru tersebut diperkenalkan dan diujicobakan;
(c)
jika norma dan perilaku baru tersebut
dirasakan bermanfaat, akan memperoleh pengakuan (legitimasi) dari warga;
(d)
pengakuan atas manfaat norma dan perilaku
itu akan mengundang penghargaan dari warga.
Penghargaan dalam hal ini dipahami sebagai adanya upaya warga untuk
melindungi dari perilaku menyimpang dan tindakan pelanggaran, sehingga selalu
ditaati secara swakarsa; dan
(e)
norma dan perilaku tersebut dihayati,
mendarah-daging oleh warga.
Sementara
menurut Johnson[25]
proses pelembagaan atau institusionalisasi suatu nilai atau norma dalam suatu
sistem sosial paling tidak harus memenuhi tiga syarat, yakni:
1.
Bagian terbesar warga sistem sosial
menerima norma tersebut
2.
Norma-norma tersebut telah menjiwai
bagian terbesar dari warga-warga sistem sosial tersebut.
3.
Norma tersebut bersanksi.
Proses
pelembagaan atau institusionalisasi pada masyarakat sangat lama sekali dan
merupakan hasil ciptaan manusia. Oleh
karena proses pelembagaan merupakan hasil ciptaan manusia, maka kelembagaan
dapat dikategorikan sebagai “teknologi”.
Teknologi yang diciptakan manusia
dapat diidentifikasikan menjadi dua, yaitu:
(a)
teknologi yang bersifat materiil, dan
(b)
teknologi yang bersifat
organisatoris. Teknologi yang bersifat
organisatoris ini yang juga merupakan pengertian dari kelembagaan tersebut.
Kelembagaan
masyarakat yang merupakan teknologi tersebut memiliki peranan yang sangat besar
dalam mengatur keserasian hidup manusia dengan manusia lainnya maupun manusia
dengan lingkungannya.
Namun
demikian, pada beberapa kasus banyak kelembagaan masyarakat lokal di perdesaan
yang masih terkesan sangat tradisional bahkan kadang-kadang terlihat
ganjil. Sepintas tanpa mendalami maksud
dan latar belakang yang mendorong terbentuknya suatu sistem kelembagaan, banyak
pihak yang meremehkan peranan dari kelembagaan tersebut.
Hal
senada dikemukakan oleh Uphoff, yang mengatakan bahwa sebuah lembaga atau
institusi yang mengorganisasikan diri pada sebuah organisasi akan lebih mudah
dilihat norma, perilaku yang berkembang dan menjadi pedoman bagi masyarakat.[26] Ciri utama kelembagaan yang juga merupakan
organisasi tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan manusia yang menjadi anggota,
namun terletak pada bagaimana upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan, yaitu
penanaman norma dan perilaku yang diakui bersama dan telah bertahan lama
sebagai dasar dalam menjalankan lembaga.
Kemudian
beberapa upaya yang digunakan dalam mencapai tujuan, diantaranya mengutamakan
akuntabilitas, adanya partisipasi yang besar seluruh anggota dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan serta evaluasi kegiatan, didukung oleh konsensus atau
kesepakatan bersama, serta adanya sanksi sosial.[27] Oleh karena itu, penerapannya lebih diutamakan
pada tingkat lokal atau warga.
Sebagaimana
kita pahami bahwa kebutuhan manusia kian hari semakin berkembang dan
berfluktuasi, dan oleh karenanya hal ini menyebabkan kelembagaan yang dibentuk
dan dibutuhkan dapat berubah-ubah. Donn
Martindale dalam bukunya yang terkenal, “Institutions,
Organizations, and Mass Society”
(1966) menyebutkan terdapat beberapa fenomena yang dialami sebuah
lembaga atau kelembagaan dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia yang berkembang
dan berfluktuasi tersebut, yaitu:[28]
a. Stabilitas
Yaitu suatu kondisi dimana sebuah lembaga atau institusi tetap stabil
menjalalankan adat istiadat, norma yang dianut bersama untuk memenuhi kebutuhan
anggotanya walaupun kebutuhan manusia itu tetap berkembang dan berfluktuasi.
b.
Konsistensi
yaitu adanya
kebutuhan-kebutuhan yang begitu banyak, mengakibatkan masyarakat mengembangkan
usahanya pada bidang lain untuk tujuan memenuhi kebutuhan sendiri. Pengembangan usaha yang dilakukan ini pada
prinsipnya adalah usaha di sekitar lingkungan masyarakat itu sendiri. Namun anggota lembaga ini tidak meninggalkan
usaha utama mereka walaupun mereka telah mengembangkan usaha dan memiliki usaha
yang baru. Artinya walaupun ada usaha
baru yang dilakukan suatu warga dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka, usaha
utama tetap mereka laksanakan.
c.
Kesempurnaan atau kelengkapan
Peningkatan
kebutuhan manusia itu akan ada limitnya atau batasnya. Dikatakan sempurna atau kelengkapan apabila
suatu lembaga memberikan atau menyediakan kebutuhan sesuai dengan yang telah
digariskan. Bila lembaga ini telah
melaksanakan tugasnya memenuhi kebutuhan sesuai dengan yang telah
digariskan. Bila lembaga ini telah
melaksanakan tugasnya memenuhi kebutuhan anggota sesuai dengan yang digariskan,
dapat dikatakan lembaga ini telah mencapai taraf kesempurnaan.
Di
akhir pembahasan, berikutnya ditampilkan matriks perbandingan pemahaman
terhadap Lembaga/Kelembagaan (Institution)
dan Organisasi (Organization/Institute),
yang merupakan sintesa dari beberapa ahli.
Tabel 1.
Tabel Sintesa Definisi Lembaga dan
Organisasi
Ahli
|
Norma
|
Waktu
|
Tujuan
|
Kemungkinan
Pengembangan
|
Uphoff |
Merupakan serangkaian norma
|
Memerlukan waktu yg cukup panjang
|
Meniliki tujuan bersama
|
Bila memiliki organi-sasi formal atau orga nisasi yang potensial
|
Martindale
|
Pola hubungan tingkah laku manusia dalam kelompok
|
Memenuhi ke-butuhan kelom pok suatu orga-nisasi
|
Dapat dikembang- kan
|
|
Taneko
|
Pola-pola yang
memiliki keku-atan tetap
|
Memerlukan cukup waktu
|
Memenuhi ke-butuhan kelom pok
|
|
Hendro Puspito
|
Organisasi yang tersusun dari pola-pola kelakuan, pe ranan
dan relasi
|
Memerlukan wak-tu untuk mema-dukan kepenti-ngan sbg
bentuk cara hidup dan bertindak yang mengikat
|
Memenuhi ke-butuhan sosial dasar
|
Dapat dikembang- kan
walaupun sangat lambat, karena pola
kelakuan & peranan itu tidak mudah berubah
|
REFERENSI:
01. Blau, Peter M. & W. Richard Scott. 1962.
Formal
Organizations: A Comparative Approach. San Francisco: Chandler Publishing Co.
02. Eaton, Joseph
W. (ed). 1986. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional: Dari Konsep Kegiatan
Aplikasi. Terjemahan. Cetakan Pertama. Jakarta:
Universitas Indonesia
Press.
03. Edwards,
Michael & David Hulme (eds.). 1996. Beyond
the Magic Bullet, NGO Performance and Accountability in the Post-Cold World War.
United Stated of America:
Kumarian Press.
04. Esman, Milton
J. & Norman T. Uphoff. 1984. Local
Organization: Intermediaries in Rural Development. Ithaca:
Cornell University Press.
05. Etzioni,
Amitai. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. Terjemahan. Jakarta:
Universitas Indonesia
Press.
06. Hendropuspito,
O.C. 1989. Sosiologi Sistematik. Jakarta:
Penerbit Kanisius.
07. Indrawijaya,
Adam I. 2000. Perilaku Organisasi. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
08. Koentjoroningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
09. Lubis, S.B.
Hari & Martani Huseini. 1987. Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro.
Depok: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia
(PAU-IS-UI).
10. Martindale,
Donn. 1966. Institutions,
Organizations, and Mass Society. New York:
University of Minnesota.
11. Marzali, Amri. 2001. Pengembangan Institusi Lokal.
Modul Perkuliahan Program Magister Konsentrasi Pembangunan Sosial. Depok:
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
12. Saharuddin.
2001. Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat
Multi-Etnis. Bahan Diskusi Tidak Diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.
13. Siagian,
Sondang P. 1995. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
14. Simanjuntak,
Tumpal M.S. 2001. Perbedaan antara Organisasi (Organization) dengan
Kelembagaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM)/Unit Pengelola Keuangan (UPK) Proyek
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Jakarta: 22-23 Mei 2001.
15. Soekanto,
Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
16. ___________________.
2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
17. Taneko, B.
Sulaiman. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
18. Uphoff,
Norman.T. 1986. Local Institutional Development. An Analitycal Sourcebook with Cases.
West Hartford Connecticut:
Kumarian Press.
19. _________________.
1993. Grassroot Organizations and NGOs
in Rural Development, Opportunities with Diminishing States and Expanding
Market. United
States of America: Kumarian Press.
[1] Saharuddin. 2001. Nilai Kultur Inti
dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi-Etnis. Bahan Diskusi
Tidak Diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
(p.1)
[2] Ibid.
(p.1)
[3] Koentjoroningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. (p.16)
[5] Taneko, B. Sulaiman. 1993. Struktur
dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. (p.72)
[6] Uphoff, Norman.T. 1986. Local
Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with Cases. West
Hartford Connecticut:
Kumarian Press. (p.9)
[7] Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-Organisasi
Modern. Terjemahan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. (p.3)
[8] Blau, Peter M. & W. Richard Scott.
1962. Formal Organizations: A Comparative Approach. San Francisco: Chandler Publishing Co. (p.7)
[9] Lubis,
S.B. Hari & Martani Huseini. 1987. Teori Organisasi: Suatu Pendekatan
Makro. Depok: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia
(PAU-IS-UI). (p.1)
[11] Lihat dalam Martindale, Donn. 1966. Institutions,
Organizations, and Mass Society. New York:
University of Minnesota. (p.133)
[12] Ibid.
[13] Sebagaimana dikutip Martindale, Donn. Ibid. (p.140)
[14] Ibid.
(p.142)
[15] Ibid.
(p.123)
[17] Uphoff, Norman T. 1986. Op.Cit. (p.8)
[18] Martindale, Donn. 1966. Op.Cit. (p.123)
[19] Simanjuntak,
Tumpal M.S. 2001. Perbedaan antara Organisasi (Organization) dengan
Kelembagaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM)/Unit Pengelola Keuangan (UPK) Proyek
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Jakarta: 22-23 Mei 2001.
[20] Uphoff, Norman T. 1986. Op.Cit. (p.8)
[21] Simanjuntak, Tumpal M.S. Op.Cit.
[22] Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. (p.220)
[23] Ibid.
(p.224)
[24] Simanjuntak, Tumpal M.S. 2001. Op.Cit. (p.12)
[25] Sebagaimana dikutip Soekanto, Soerjono.
1993. Beberapa Teori Sosiologi tentang
Struktur Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. (p.197)
[26] Uphoff, Norman T. 1986. Op.Cit.
[27] Lihat misalnya dalam
Uphoff. Ibid. Juga, Uphoff dalam
Edwards, Michael & David Hulme (eds.). 1996. Beyond the Magic Bullet, NGO Performance and Accountability in the
Post-Cold World War. United Stated of America: Kumarian Press. (p.23)
[28] Martindale, Donn. 1966. Op.Cit. (p.125)
Sesuai Scott (2008) dalam konsep New Institutionalism, lembaga terdiri atas 3 hal (normatif, regulatif, dan kultural kognitif). Organisasi adalah aktor, yg hidup dalam lembaga. Lembaga melingkupi organisasi. Organisasi hanyalah aktor sosial. Ia hidup dalam lembaga. http://websyahyuti.blogspot.com/2010/10/lembaga-dan-organisasi-petani-dalam.html
BalasHapusboleh dirangkumin nggak lembaga itu apa?
BalasHapusmakaci mba, izin copaz ya
BalasHapusMakasih postingannya
BalasHapusSangat bermanfaat..
thanks ya...sayang gambar 1 dan 2 nd nampak
BalasHapusMakasih Yaa.. Sangat Bermanfaat.. ^_^
BalasHapus