Halaman

Selasa, 05 Juni 2012

SOLUSI KESENJANGAN FISKAL (FISCAL GAP)


Kecenderungan yang terjadi di banyak negara berkembang adalah proses penguatan pemerintah daerah atau desentralisasi, yang di Indonesia lebih dikenal lewat upaya untuk mewujudkan otonomi daerah. Salah satu kegiatan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi di bidang keuangan atau desentralisai fiskal. Dari sisi pemerintah, ada 2 hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upanya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjadi isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal yang disebut fiscal gap ini yang akan menjadi patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Optimalisasi potensi PAD turut disinggung di sini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan UU No. 34/2000 sebagai penguatan PAD.
Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiscal adalah memperbanyak kapasitas fiscal. Ide dasarnya adalah untuk Daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya Derah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan Daerahnya.

Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi dasar umum, dengan komponen pengukuran jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto Perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Setiap daerah (subnation) mesti menyediakan pelayanan publik minimum (vital) kepada masyarakat yang berada di wilayahnya, tanpa memandang apakah mereka itu penduduk tetap atau pendatang. Banyak daerah yang menanggung banyak beban tanggung jawab fiskal, seperti misalnya daerah yang memiliki banyak penduduk miskin, ataupun daerah dengan proporsi penduduk usia sekolah (6-18 tahun) tinggi. Lalu, daerah-daerah dengan wilayah amat luas dan penduduk tersebar misalnya, mesti menanggung beban pengeluaran per kapita yang amat tinggi untuk konstruksi dan pemeliharaan jalan. Ini semua mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal karena biaya dalam penyediaan jasa pelayanan publik menjadi tinggi ataupun cakupan dari program-program yang mesti dilaksanakan oleh daerah melebar. Jadi, pada dasarnya kebutuhan fiskal adalah kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan daerah menyediakan pelayanan publik (expenditure needs). Formula baku yang biasa digunakan untuk menghitung kebutuhan pengeluaran kategori i adalah:
       Ni = measurement unit * biaya rata-rata per unit * indeks penyesuaian      
dimana i menunjukkan jenis atau kategori pengeluaran ke-i, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain sebagainya. Measurement unit adalah jumlah unit yang memperoleh pelayanan pemerintah daerah. Biaya rata-rata per unit adalah jumlah pengeluaran daerah untuk kategori i dibagi dengan measurement unit (sebagai misal, biaya rata-rata per unit dari pendidikan dasar dan menengah adalah total pengeluaran untuk pendidikan dasar dan menengah dibagi dengan jumlah pelajar sekolah dasar dan menengah di negara yang bersangkutan). Indeks penyesuaian adalah kombinasi dari berbagai factor yang menyebabkan adanya perbedaan dari biaya per unit pelayanan di daerah tersebut terhadap rata-rata nasional.

Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiscal adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.
Mengenai kapasitas fiskal ini, satu isu yang perlu untuk diingat adalah bahwa penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskalnya ternyata kurang baik. Sebab, ini akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Dengan demikian, daerah-daerah akan terdorong untuk tidak bersusah payah menghimpun pendapatan (under-collect) agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari pusat. Alasannya cukup jelas, semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak dari sumber-sumbernya, semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya, dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya.
Di Indonesia dewasa ini, yang dimasukkan ke dalam kapasitas fiskal adalah termasuk bagi hasil perpajakan dan bagi hasil sumber daya alam, yang bagi sebagian daerah jumlahnya amat signifikan. Sementara penerimaan dari pajak dan retribusi daerah yang membentuk penerimaan asli daerah (PAD) relatif masih belum begitu besar jumlahnya. Jadi, “ketentuan” umum bahwa kapasitas fiskal selayaknya independen dari tax effort daerah amat ditentukan dari sumbersumber penerimaan yang diarahkan kepada daerah tersebut, sehingga tujuan pemerataan dari transfer bisa dipenuhi.
Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne and Gaebler, 1993).

Kesenjangan Fiskal (fiscal gap) dan Dana Alokasi Umum
Banyak studi yang menunjukkan bahwa potensi timbulnya ketidakmerataan antar daerah dengan pelaksanaan desentralisasi cukup besar. Potensi pajak daerah yang tidak merata dan distribusi sumber daya alam yang juga tidak seimbang menuntut adanya satu sumber signifikan yang paling tidak bisa mengurangi ketimpangan horisontal tersebut. Tujuan untuk pemerataan ini akan lebih jelas jika mengamati penentuan formula untuk membagi DAU ke seluruh daerah. Pada garis besarnya, untuk setiap daerah dilihat potensi/kapasitas fiskal dan kebutuhan pengeluarannya. Selisih dari kebutuhan dan kapasitas ini, yang hampir pasti akan positif, merupakan kesenjangan fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah yang merefleksikan ketidakmerataan tersebut.
Fiscal gap inilah yang seyogyanya ditutup oleh DAU, karena dengan demikian pemerataan (dalam arti setiap daerah bisa membiayai setiap kebutuhan dasar di wilayahnya) dapat terpenuhi. Tentu saja di sini asumsinya adalah bahwa pengukuran atau perkiraan mengenai potensi dan kebutuhan masing-masing daerah sudah dilakukan secara cermat. Jadi, hubungan antara kapasitas dengan kebutuhan daerah yang menjadi dasar perumusan DAU tersebut harus jelas. Sebab, secara umum semestinya mudah dimengerti bahwa daerah-daerah yang relatif sudah (lebih) maju cenderung mampu untuk berdiri sendiri, sehingga hanya sedikit saja bantuan pusat yang diperlukan. Untuk Indonesia, daerah-daerah yang lebih maju ini adalah yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar karena intensitas aktivitas ekonominya yang tinggi, atau pun yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Sehingga dengan demikian daerah yang akan menerima DAU besar seyogyanya adalah daerah yang kapasitas fiskalnya kecil dibandingkan kebutuhan riil daerahnya, dan seterusnya.
Isu yang mencuat dewasa ini terkait dengan DAU adalah keluhan dari beberapa daerah (terutama provinsi) bahwa jumlahnya tidak mencukupi sedemikian sehingga sebagian kebutuhan belanja pegawai tidak terpenuhi. Ini perlu diungkapkan karena sesungguhnya keluhan-keluhan tersebut cenderung bermula dari salah kaprah daerah bahwa DAU itu dimaksudkan juga untuk membiayai seluruh belanja pegawai daerah.
Lalu, apabila ingin dilakukan perbandingan, maka seyogyanya adalah antara seluruh belanja rutin dengan DAU dan sumber penerimaan lainnya (yakni PAD dan Bagi Hasil). Mungkin perlu disosialisasikan kepada daerah bahwa “kekurangan dana” baru akan menjadi masalah apabila DAU dan Bagi Hasil jumlahnya sama atau lebih kecil dari Belanja Rutin (pegawai – nonpegawai, lama – baru). Sebab, kondisi ini dapat mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, kekurangan DAU banyak dikeluhkan oleh provinsi karena memang desain formula dilakukan dengan asumsi bahwa otonomi berada di kabupaten/kota, sehingga beban untuk provinsi tidak akan terlalu berat. Tambahan lagi, sesuai UU No. 25/1999, untuk provinsi memang hanya akan kebagian 10% dari total DAU.

Optimalisasi PAD
Isu utama dari PAD dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seyogyanya cukup signifikan besarnya. Apalagi dengan bertambahnya tugas/fungsi pemerintah daerah di era otonomi. Namun pengalaman selama ini menunjukkan bahwa PAD dari provinsi mau pun kabupaten/kota secara umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD. Dikeluarkannya UU No. 18/1997 yang bersifat limitatif (membatasi jumlah pungutan yang boleh dikenakan daerah) ternyata malah mengurangi peran pajak dan retribusi daerah dalam APBD. Oleh karena itu banyak harapan yang muncul terhadap pelaksanaan UU No. 34/2000 tersebut, yakni penguatan PAD. 
UU No. 34 tahun 2000 menetapkan beberapa jenis pajak dan retribusi bagi daerah, sebagai perbaikan dari ketentuan dalam UU No. 18 tahun 1997. Namun demikian, daerah juga diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan sendiri jenis pajak dan retribusi selain yang sudah ditentukan tersebut, asalkan sesuai dengan beberapa kriteria yang juga dimuat dalam UU ini. Sumber penerimaan pajak provinsi yang ditetapkan di sini adalah:
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Sedangkan pajak-pajak kabupaten/kota adalah:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g. Pajak Parkir
Dibandingkan ketentuan dalam UU No. 18/1997, ada beberapa perubahan yang diharapkan dapat menguatkan PAD. Pertama, untuk provinsi, berupa perluasan PKB dan BBNKB menjadi PKB dan BBNKB yang memasukkan kendaraan di atas air. Kedua, juga untuk provinsi, penambahan jenis pajak dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, yang sebelumnya merupakan pajak daerah kabupaten/kota. Bagi provinsi, sumber-sumber penerimaan daerah yang sedemikian dianggap cukup memadai dan cocok karena sifatnya yang lintas kabupaten/ kota serta obyek pajaknya yang tersebar di berbagai wilayah. Ketiga, dibedakannya pajak hotel dan pajak restoran untuk kabupaten/kota yang semula dijadikan satu. Keempat, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C (untuk kabupaten/kota) yang diubah menjadi pajak pengambilan bahan galian golongan C. Kelima, masih untuk kabupaten/kota, ditambahkannya pajak parkir sebagai sumber penerimaan pajak baru. Pajak parkir ini dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi  kendaraanbermotor yang memungut bayaran. Keenam, di samping tambahan mau pun perluasan jenis pajak tersebut, kabupaten/ kota juga diberikan keleluasaan untuk menambah dengan jenis-jenis pajak baru. Namun ada rambu-rambu atau kriteria yang mesti diikuti, yaitu:
1.      bersifat pajak dan bukan retribusi;
2.      pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
3.      obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
4.      obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat; potensinya memadai
5.      tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
6.      memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
7.      menjaga kelestarian lingkungan.
Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari rambu di atas, maka seyogyanya dipertimbangkan untuk dibatalkan pengesahannya. Secara tegas UU No. 34 tahun 2000 menyatakan adanya kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak memenuhi syarat.

Reformasi Birokrasi
            Salah satu langkah untuk menguatkan kapasitas fiscal adalah reformasi birokrasi. Bagaimana cara pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar terjadi reformasi yaitu perubahan agar menjadi lebih baik lagi. Pelayanan public yang dilaksanakan oleh birokrasi Pemerintah seharusnya digerakkan oleh visi dan misi pelayanan. Namun pada kenyataannya pelayanan public digerakkan oleh peraturan dan anggaran. Kinerja pelayanan public yang buruk tersebut juga disebabkan oleh peraturan yang tidak disosialisasikan kepada pengguna jasa secara jelas dan transparan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai penyelewengan peraturan oleh aparat pelayanan. Penyelewengan peraturan tersebut tidak hanya menguntungkan aparat pelayanan itu, tetapi juga pengguna jasa yang dapat memperoleh pelayanan lebih cepat. Pelayanan public harus bersifat terbuka dan dikelola menurut sudut pandang masyarakat pengguna jasa sehingga menyiratkan hubungan yang dekat antara masyarakat pengguna jasa dan petugas pelayanan.
            Pada hakikatnya, pelayanan public dirancang dan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun persepsi antara masyarakat pengguna jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayananpublik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan. Sebagai penyelenggara pelayanan public, birokrasi pemerintah gagal dalam merespon dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan itu cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsive. Bahkan berbagai bentuk birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan public. Akibatnya, muncul banyak praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam penyelenggaraan pelayanan yang sangat merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan public yang buruk ini adalah hasil dari kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia seperti buruknya tingkat pengambilan inisiatif dalam pelayanan public, tidak adanya sistem insentif untuk melakukan pekerjaan dan tingginya tingkat ketergantungan pada aturan formal dan petunjuk pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan. Ketergantungan pada peraturan pada akhirnya tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian pelayanan.
            Masih suburnya “budaya amplop” dalam penyelenggaraan pelayanan public di beberapa daerah menunjukkan bahwa bias kultur birokrasi feodal masih tetap terlihat dominasinya. Perbedaannya mungkin hanya terletak pada pihak yang pertama kali melakukan inisiatif untuk memberikan uang suap. Apabila pada masa sebelum reformasi, aparat birokrasi dapat secara terus terang meminta kepada masyarakat untuk menyediakan sejumlah uang agar pelayanannya berlangsung dengan lancar. Akan tetapi, pada masa reformasi saat ini, menurut pengakuan beberapa masyarakat, pengguna jasa, pihak masyarakat yang dituntut untuk dapat mengerti segala keinginan dari aparat birokrasi. Secara substansial, kecenderungan untuk tetap terjadinya korupsi terhadap pemberian pelayanan public masih tetap besar. Selama tidak adanya control public dan penegakan hukum yang efektif terhadap perilaku tersebut, efisiensi kinerja pelayanan public masih jauh dari harapan untuk diwujudkan.

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
            Faktor kualitas sumber daya manusia yang relative rendah semakin menghambat pemberian pelayaan kepada masyarakat. Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau civil societ, kemudian masalah tentang ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah dalam mengambil tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi pemikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dari atasan dan harus berpegang teguh pada juklak atau juknis sehingga seseorang customer memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu memenuhinya karena harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan public menjadi ememrlukan waktu pelayanan yang relative lama. Koordinasi antar unit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama.
            Masih belum meratanya SDM atau aparatur pemerintah daerah yang berkualitas di tiap daerah juga menjadi penghambat tersendiri. Dipelbagai daerah yang dinilai masih memilliki kekurangan dalam hal sumber daya aparatur pemerintah daerah sebagian besar terdapat di daerah Indonesia bagian timur. Sehingga jalannya desentralisasi yang menjadi tanggung jawab tiap daerah menjadi kurang maksimal dalam pemenuhannya.
            Tidak ada cara lain selain meningkatkan mutu kualitas aparatur pemerintahan daerah untuk meningkatkan kapasitas fiscal daerah. Untuk memenuhi tuntutan ini maka penyebaran SDM yang berkualitas dipelbagai daerah harus segera dilaksanakan. Peningkatan mutu SDM juga menjadi penting disini. Hal ini bisa dilakukan dengan pelbagai cara seperti pelatihan, pemenuhan standart kualitas aparatur daerah, seminar, peningkatan soft skill, dsb.

2 komentar: