Kecenderungan yang terjadi di banyak negara berkembang adalah
proses penguatan pemerintah daerah atau desentralisasi, yang di Indonesia lebih
dikenal lewat upaya untuk mewujudkan otonomi daerah. Salah satu kegiatan dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi di bidang
keuangan atau desentralisai fiskal. Dari sisi pemerintah, ada 2 hal utama yang
menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat
dikaitkan dalam upanya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjadi
isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari kebutuhan fiskal dan
kapasitas fiskal yang disebut fiscal gap ini yang akan menjadi
patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Optimalisasi potensi PAD
turut disinggung di sini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan UU No. 34/2000 sebagai
penguatan PAD.
Kesenjangan fiskal (fiscal gap)
merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal
dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah
Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiscal adalah memperbanyak kapasitas
fiscal. Ide dasarnya adalah untuk Daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif
lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan
seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya Derah yang memiliki kebutuhan fiskal
relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif
besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik.
Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah
di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan
maupun pembangunan Daerahnya.
Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi dasar umum, dengan komponen pengukuran jumlah penduduk,
luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto
Perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Setiap daerah (subnation)
mesti menyediakan pelayanan publik minimum (vital) kepada masyarakat yang
berada di wilayahnya, tanpa memandang apakah mereka itu penduduk tetap atau
pendatang. Banyak daerah yang menanggung banyak beban tanggung jawab fiskal,
seperti misalnya daerah yang memiliki banyak penduduk miskin, ataupun daerah
dengan proporsi penduduk usia sekolah (6-18 tahun) tinggi. Lalu, daerah-daerah
dengan wilayah amat luas dan penduduk tersebar misalnya, mesti menanggung beban
pengeluaran per kapita yang amat tinggi untuk konstruksi dan pemeliharaan
jalan. Ini semua mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal karena biaya dalam
penyediaan jasa pelayanan publik menjadi tinggi ataupun cakupan dari
program-program yang mesti dilaksanakan oleh daerah melebar. Jadi, pada
dasarnya kebutuhan fiskal adalah kebutuhan daerah untuk membiayai semua
pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan daerah
menyediakan pelayanan publik (expenditure needs). Formula baku yang biasa digunakan untuk menghitung
kebutuhan pengeluaran kategori i adalah:
Ni = measurement unit * biaya
rata-rata per unit * indeks penyesuaian
dimana i menunjukkan jenis atau kategori pengeluaran ke-i,
seperti misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain sebagainya. Measurement
unit adalah jumlah unit yang memperoleh pelayanan pemerintah daerah. Biaya
rata-rata per unit adalah jumlah pengeluaran daerah untuk kategori i dibagi
dengan measurement unit (sebagai misal, biaya rata-rata per unit dari
pendidikan dasar dan menengah adalah total pengeluaran untuk pendidikan dasar
dan menengah dibagi dengan jumlah pelajar sekolah dasar dan menengah di negara
yang bersangkutan). Indeks penyesuaian adalah kombinasi dari berbagai factor
yang menyebabkan adanya perbedaan dari biaya per unit pelayanan di daerah
tersebut terhadap rata-rata nasional.
Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.02/2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman
Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan
kapasitas fiscal adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan
melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin.
Mengenai kapasitas fiskal ini, satu isu yang perlu
untuk diingat adalah bahwa penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran
kapasitas fiskalnya ternyata kurang baik. Sebab, ini akan menyebabkan transfer
dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort)
daerah. Dengan demikian, daerah-daerah akan terdorong untuk tidak bersusah
payah menghimpun pendapatan (under-collect) agar bisa memperoleh
transfer yang banyak dari pusat. Alasannya cukup jelas, semakin gencar daerah
menghimpun penerimaan pajak dari sumber-sumbernya, semakin tinggi ukuran
kapasitas fiskalnya, dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya.
Di Indonesia dewasa ini, yang dimasukkan ke dalam
kapasitas fiskal adalah termasuk bagi hasil perpajakan dan bagi hasil sumber
daya alam, yang bagi sebagian daerah jumlahnya amat signifikan. Sementara
penerimaan dari pajak dan retribusi daerah yang membentuk penerimaan asli
daerah (PAD) relatif masih belum begitu besar jumlahnya. Jadi, “ketentuan” umum
bahwa kapasitas fiskal selayaknya independen dari tax effort daerah amat
ditentukan dari sumbersumber penerimaan yang diarahkan kepada daerah tersebut,
sehingga tujuan pemerataan dari transfer bisa dipenuhi.
Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal
capacity) tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas
fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh
karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan.
Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti
anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan
baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan
masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah
optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai
fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne and
Gaebler, 1993).
Kesenjangan
Fiskal (fiscal gap) dan Dana Alokasi Umum
Banyak studi yang menunjukkan bahwa potensi
timbulnya ketidakmerataan antar daerah dengan pelaksanaan desentralisasi cukup
besar. Potensi pajak daerah yang tidak merata dan distribusi sumber daya alam
yang juga tidak seimbang menuntut
adanya satu sumber signifikan yang paling tidak bisa mengurangi ketimpangan
horisontal tersebut. Tujuan untuk pemerataan ini akan lebih jelas jika
mengamati penentuan formula untuk membagi DAU ke seluruh daerah. Pada garis
besarnya, untuk setiap daerah dilihat potensi/kapasitas fiskal dan kebutuhan
pengeluarannya. Selisih dari kebutuhan dan kapasitas ini, yang hampir pasti
akan positif, merupakan kesenjangan fiskal (fiscal gap) dari
masing-masing daerah yang merefleksikan ketidakmerataan tersebut.
Fiscal gap inilah
yang seyogyanya ditutup oleh DAU, karena dengan demikian pemerataan (dalam arti
setiap daerah bisa membiayai setiap kebutuhan dasar di wilayahnya) dapat
terpenuhi. Tentu saja di sini asumsinya adalah bahwa pengukuran atau perkiraan
mengenai potensi dan kebutuhan masing-masing daerah sudah dilakukan secara
cermat. Jadi, hubungan antara kapasitas dengan kebutuhan daerah yang menjadi
dasar perumusan DAU tersebut harus jelas. Sebab, secara umum semestinya mudah
dimengerti bahwa daerah-daerah yang relatif sudah (lebih) maju cenderung mampu
untuk berdiri sendiri, sehingga hanya sedikit saja bantuan pusat yang
diperlukan. Untuk Indonesia, daerah-daerah yang lebih maju ini adalah yang
memiliki potensi penerimaan pajak yang besar karena intensitas aktivitas
ekonominya yang tinggi, atau pun yang memiliki kekayaan sumber daya alam.
Sehingga dengan demikian daerah yang akan menerima DAU besar seyogyanya adalah
daerah yang kapasitas fiskalnya kecil dibandingkan kebutuhan riil daerahnya,
dan seterusnya.
Isu yang mencuat dewasa ini terkait dengan DAU
adalah keluhan dari beberapa daerah (terutama provinsi) bahwa jumlahnya tidak
mencukupi sedemikian sehingga sebagian kebutuhan belanja pegawai tidak
terpenuhi. Ini perlu diungkapkan karena sesungguhnya keluhan-keluhan tersebut
cenderung bermula dari salah kaprah daerah bahwa DAU itu dimaksudkan juga untuk
membiayai seluruh belanja pegawai daerah.
Lalu, apabila ingin dilakukan perbandingan, maka
seyogyanya adalah antara seluruh belanja rutin dengan DAU dan sumber penerimaan
lainnya (yakni PAD dan Bagi Hasil). Mungkin perlu disosialisasikan kepada
daerah bahwa “kekurangan dana” baru akan menjadi masalah apabila DAU dan Bagi
Hasil jumlahnya sama atau lebih kecil dari Belanja Rutin (pegawai – nonpegawai,
lama – baru). Sebab, kondisi ini dapat mengganggu kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Selain itu, kekurangan DAU banyak dikeluhkan oleh provinsi
karena memang desain formula dilakukan dengan asumsi bahwa otonomi berada di
kabupaten/kota, sehingga beban untuk provinsi tidak akan terlalu berat.
Tambahan lagi, sesuai UU No. 25/1999, untuk provinsi memang hanya akan kebagian
10% dari total DAU.
Optimalisasi PAD
Isu utama dari PAD dikaitkan dengan pelaksanaan
otonomi daerah adalah bahwa PAD merupakan pencerminan dari local taxing
power yang seyogyanya cukup signifikan besarnya. Apalagi dengan
bertambahnya tugas/fungsi pemerintah daerah di era otonomi. Namun pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa PAD dari provinsi mau pun kabupaten/kota secara
umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD. Dikeluarkannya UU No.
18/1997 yang bersifat limitatif (membatasi jumlah pungutan yang boleh dikenakan
daerah) ternyata malah mengurangi peran pajak dan retribusi daerah dalam APBD.
Oleh karena itu banyak harapan yang muncul terhadap pelaksanaan UU No. 34/2000
tersebut, yakni penguatan PAD.
UU No. 34 tahun 2000 menetapkan beberapa jenis pajak
dan retribusi bagi daerah, sebagai perbaikan dari ketentuan dalam UU No. 18
tahun 1997. Namun demikian, daerah juga diberi peluang untuk menggali potensi
sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan sendiri jenis pajak dan retribusi
selain yang sudah ditentukan tersebut, asalkan sesuai dengan beberapa kriteria
yang juga dimuat dalam UU ini. Sumber penerimaan pajak provinsi yang ditetapkan
di sini adalah:
a. Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
b. Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
c. Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor
d. Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Sedangkan
pajak-pajak kabupaten/kota adalah:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c.
Pajak Hiburan
d.
Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan
Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C
g. Pajak Parkir
Dibandingkan ketentuan dalam UU No. 18/1997, ada
beberapa perubahan yang diharapkan dapat menguatkan PAD. Pertama, untuk
provinsi, berupa perluasan PKB dan BBNKB menjadi PKB dan BBNKB yang memasukkan
kendaraan di atas air. Kedua, juga untuk provinsi, penambahan jenis
pajak dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan, yang sebelumnya merupakan pajak daerah kabupaten/kota. Bagi
provinsi, sumber-sumber penerimaan daerah yang sedemikian dianggap cukup
memadai dan cocok karena sifatnya yang lintas kabupaten/ kota serta obyek
pajaknya yang tersebar di berbagai wilayah. Ketiga, dibedakannya pajak
hotel dan pajak restoran untuk kabupaten/kota yang semula dijadikan satu. Keempat,
pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C (untuk kabupaten/kota)
yang diubah menjadi pajak pengambilan bahan galian golongan C. Kelima,
masih untuk kabupaten/kota, ditambahkannya pajak parkir sebagai sumber
penerimaan pajak baru. Pajak parkir ini dikenakan atas penyelenggaraan tempat
parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor
dan garasi kendaraanbermotor yang
memungut bayaran. Keenam, di samping tambahan mau pun perluasan jenis
pajak tersebut, kabupaten/ kota juga diberikan keleluasaan untuk menambah
dengan jenis-jenis pajak baru. Namun ada rambu-rambu atau kriteria yang mesti
diikuti, yaitu:
1. bersifat
pajak dan bukan retribusi;
2. pajak
terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di
wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
3. obyek
dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
4. obyek
pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat;
potensinya memadai
5. tidak
memberikan dampak ekonomi yang negatif;
6. memperhatikan
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
7. menjaga
kelestarian lingkungan.
Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak
memenuhi satu saja dari rambu di atas, maka seyogyanya dipertimbangkan untuk
dibatalkan pengesahannya. Secara tegas UU No. 34 tahun 2000 menyatakan adanya
kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak
memenuhi syarat.
Reformasi Birokrasi
Salah
satu langkah untuk menguatkan kapasitas fiscal adalah reformasi birokrasi.
Bagaimana cara pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar
terjadi reformasi yaitu perubahan agar menjadi lebih baik lagi. Pelayanan
public yang dilaksanakan oleh birokrasi Pemerintah seharusnya digerakkan oleh
visi dan misi pelayanan. Namun pada kenyataannya pelayanan public digerakkan
oleh peraturan dan anggaran. Kinerja pelayanan public yang buruk tersebut juga
disebabkan oleh peraturan yang tidak disosialisasikan kepada pengguna jasa
secara jelas dan transparan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai
penyelewengan peraturan oleh aparat pelayanan. Penyelewengan peraturan tersebut
tidak hanya menguntungkan aparat pelayanan itu, tetapi juga pengguna jasa yang
dapat memperoleh pelayanan lebih cepat. Pelayanan public harus bersifat terbuka
dan dikelola menurut sudut pandang masyarakat pengguna jasa sehingga
menyiratkan hubungan yang dekat antara masyarakat pengguna jasa dan petugas
pelayanan.
Pada hakikatnya, pelayanan public
dirancang dan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna
jasa. Namun persepsi antara masyarakat pengguna jasa dan aparat birokrasi
mengenai kualitas pelayananpublik yang efisien, transparan, pasti dan adil
belum berhasil diwujudkan. Sebagai penyelenggara pelayanan public, birokrasi
pemerintah gagal dalam merespon dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan
itu cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsive. Bahkan berbagai
bentuk birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan public.
Akibatnya, muncul banyak praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam
penyelenggaraan pelayanan yang sangat merugikan masyarakat pengguna jasa.
Kinerja pelayanan public yang buruk ini adalah hasil dari kompleksitas
permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia seperti buruknya tingkat
pengambilan inisiatif dalam pelayanan public, tidak adanya sistem insentif
untuk melakukan pekerjaan dan tingginya tingkat ketergantungan pada aturan
formal dan petunjuk pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan. Ketergantungan
pada peraturan pada akhirnya tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam
pemberian pelayanan.
Masih suburnya “budaya amplop” dalam
penyelenggaraan pelayanan public di beberapa daerah menunjukkan bahwa bias
kultur birokrasi feodal masih tetap terlihat dominasinya. Perbedaannya mungkin
hanya terletak pada pihak yang pertama kali melakukan inisiatif untuk
memberikan uang suap. Apabila pada masa sebelum reformasi, aparat birokrasi
dapat secara terus terang meminta kepada masyarakat untuk menyediakan sejumlah
uang agar pelayanannya berlangsung dengan lancar. Akan tetapi, pada masa
reformasi saat ini, menurut pengakuan beberapa masyarakat, pengguna jasa, pihak
masyarakat yang dituntut untuk dapat mengerti segala keinginan dari aparat
birokrasi. Secara substansial, kecenderungan untuk tetap terjadinya korupsi
terhadap pemberian pelayanan public masih tetap besar. Selama tidak adanya
control public dan penegakan hukum yang efektif terhadap perilaku tersebut,
efisiensi kinerja pelayanan public masih jauh dari harapan untuk diwujudkan.
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Faktor
kualitas sumber daya manusia yang relative rendah semakin menghambat pemberian
pelayaan kepada masyarakat. Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan
ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau civil societ,
kemudian masalah tentang ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah dalam
mengambil tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan
mempengaruhi pemikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dari atasan
dan harus berpegang teguh pada juklak atau juknis sehingga seseorang customer
memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu memenuhinya karena harus
menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan public
menjadi ememrlukan waktu pelayanan yang relative lama. Koordinasi antar unit
seringkali menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang dibutuhkan menjadi
lebih lama.
Masih belum meratanya SDM atau
aparatur pemerintah daerah yang berkualitas di tiap daerah juga menjadi
penghambat tersendiri. Dipelbagai daerah yang dinilai masih memilliki
kekurangan dalam hal sumber daya aparatur pemerintah daerah sebagian besar
terdapat di daerah Indonesia bagian timur. Sehingga jalannya desentralisasi
yang menjadi tanggung jawab tiap daerah menjadi kurang maksimal dalam pemenuhannya.
Tidak ada cara lain selain
meningkatkan mutu kualitas aparatur pemerintahan daerah untuk meningkatkan
kapasitas fiscal daerah. Untuk memenuhi tuntutan ini maka penyebaran SDM yang
berkualitas dipelbagai daerah harus segera dilaksanakan. Peningkatan mutu SDM
juga menjadi penting disini. Hal ini bisa dilakukan dengan pelbagai cara
seperti pelatihan, pemenuhan standart kualitas aparatur daerah, seminar,
peningkatan soft skill, dsb.
??
BalasHapus?
Terima kasih
BalasHapus