Indonesia
merupakan negara yang menganut paham ”welfare
state” atau negara kesejahteraan. Implikasinya negara harus terlibat aktif
dalam kegiatan masyarakat dan memberikan kekuasaan lebih pada lembaga
eksekutif. Secara teoritis, lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana
kebijakan yang dibuat oleh lembaga legistafif. Akan tetapi, secara praktisnya
di Indonesia ini, eksekutif memiliki kewenangan ganda yang mencakup dua lembaga
tersebut, yaitu kekuasaan eksekutif dan legislatif. Konsekuensi dari praktek
tersebut adalah memperkuat posisi eksekutif yang mengakibatkan munculnya
diskresi yang sekarang dikenal dengan ”empowering”.
Berdasarkan
paham welfare state atau negara
kesejahteraan, negara berusaha untuk mengatur segala urusan publik yang
menyangkut dengan kebutuhan masyarakat. Namun dilihat dari kondisi geografis
Indonesia dengan kultur atau budaya yang beragam maka akan lebih efektif dan
efisien apabila ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Hal tersebut dapat bertujuan untuk memudahkan pelayanan yang
diberikan negara pada masyarakat serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia maka dibentuk sebuah sistem pemerintahan desentralisasi. Sistem
pemerintahan desentralisasi ini merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Di sini desentralisasi di bagi menajdi dua, yaitu
desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi
(dekonsentrasi).
Devolusi
(political decentralization)
merupakan pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat
satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung. Dalam devolusi
tidak ada hirarki antara pemerintah daerah satu dengan pemerintah daerah
lainnya karena yang menjadi dasar adalah koordinasi dan sistem saling hubungan
antara satu unit dengan unit lain secara independen dan timbal balik. Dalam political decentralization, daerah dapat
mengambil kebijakannya sendiri. Sehingga terjadi tarik ulur urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Minimnya kepercayaan pusat atas
kemampuan pemerintah daerah terhadap kapabilitas dalam mengurus urusan
pemerintah daerah sehingga otonomi tidak dapat dijalankan secara maksimal.
Penyerahan
kewenangan dari pusat kepada daerah menjadi tidak logis manakala kewenangan
pemerintah seharusnya berkurang namun dalam prakteknya urusan pemerintah tetap
atau bisa juga bertambah. Kewenangan
pemerintah pusat bertambah apabila pemerintah pusat masih tetap mengawasi
urusan pemerintah daerah. Pada dasarnya pemerintah daerah tidak bisa
lepas dari control dari pemerintah pusat atau sebaliknya, bahwa pemerintah
pusat tidak bisa menyerahkan 100% urusan pemerintahan kepada daerah. Urusan
pemerintahan yang menyangkut kepentingan bangsa dan Negara dilaksanakan secara
sentralisasi, atau sepenuhnya tanggung jawab dari pemerintah pusat. Sedangkan
urusan-urusan local, yang secara logis beragam sesuai dengan geografis dan
kulturalnya diserahkan pada pemerintah daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat disini bukan bersifat mengekang atau membatasi tapi bertujuan untuk
memperkuat otonomi.[1] Oleh karena itu pemerintah
pusat melakukan pengawasan dan pembinaan agar pelaksanaan otonomi daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pembinaan dilakukan oleh pemerintah pusat
kepada kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah,
pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan
permusyawaratan desa. Pembinaan tersebut meliputi koordinasi pemerintah antar
susunan pemerintahan, pemberian pedoman dan standart pelaksanaan urusan
pemerintahan, pemeberian bimbingan, konsultasi urusan pemerintahan, pendidikan
dan pelatihan, perencanaan, penelitian dan pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Perencanaan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah meliputi perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka
menengah, dan perencanaan tahunan. Adapun prosedur perencanaan di era otonomi
ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan bottom up dan pendekatan
top-down. Dari dua pendekatan tersebut jelas berbeda sistematika pembuatan
perencaan pembangunan. Botoom up adalah perencanaan yang dilakukan dari bawah
ke atas, yaitu dimulai dari musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus) dan
akhirnya sampai ke Rakorbangnas (Rapat Koordinasi Pembangunan Nasioal).
Sedangkan perencanaan dengan pendekatan top-down adalah perencanaan yang
dimulai dari atas ke bawah, mulai dari pembahasan oleh MPR diikuti dengan
penyusunan PROPERNAS oleh pemerintah pusat untuk memberikan arahan mengenai
tujuan, kebijakan, dan program pembangunan nasional. Diikuti dengan penyusunan
Renstra dan Repeta. Semua pemerintah daerah diharuskan membuat POLDAS (Pola
Dasar Pembangunan) sebagai induk yang menggabungkan visi, misi, arah dan pembangunan
daerah dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dan akhirnya pemerintah daerah
membuat PROPERDA (Program Pembangunan Daerah), Renstrada, dan Repetada untuk
lima tahun ke depan,
Sedangkan Penelitian, pengembangan,
pemantauan, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi
kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan asset, Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND), pelayanan public, dan kebijakan daerah. Dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, pemerintah tersebut pemerintah pusat
memberikan standart atau standarisasi program. Pedoman atau standart urusan
pemerintahan yang disusun oleh Menteri Negara atau Pimpinan Pemerintah Non Departemen
setelah dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri.
Dari wacana di atas, yang dapat kita
simpulkan adalah bahwa kewenangan pemerintah pusat akan lebih bertambah. Karena
selain pemerintah pusat mengurus urusan yang vital, semua urusan pemerintahan
yang menyangkut kepentingan berbangsa dan
bernegara, pemerintah pusat juga berperan dalam urusan pemerintahan
daerah. Disitu ada peran pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang sifatnya lebih rumit dan
cakupannya luas. Kewenangan yang dimilki oleh pemerintah daerah juga dapat
dikatakan bertambah karena pemerintah daerah punya wewenang dalam mengurus,
mengatur dan menata pemerintahannya sendiri, meskipun masih ada pengawasan dan
pembinaan dari pusat. Inilah yang menjadi ketidaklogisan penyerahan wewenang di
era otonomi daerah ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
di Indonesia ini tidak dijalankan secara sepenuhnya atau Otonomi Berat Sebelah (otonomi setengah hati).
KISAH CERITA SAYA ~ SUKSES JADI PNS
BalasHapusAssalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....