Halaman

Senin, 18 Juni 2012

Membangun Admministrasi Pemerintah Daerah di Atas Logika


Indonesia merupakan negara yang menganut paham ”welfare state” atau negara kesejahteraan. Implikasinya negara harus terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat dan memberikan kekuasaan lebih pada lembaga eksekutif. Secara teoritis, lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana kebijakan yang dibuat oleh lembaga legistafif. Akan tetapi, secara praktisnya di Indonesia ini, eksekutif memiliki kewenangan ganda yang mencakup dua lembaga tersebut, yaitu kekuasaan eksekutif dan legislatif. Konsekuensi dari praktek tersebut adalah memperkuat posisi eksekutif yang mengakibatkan munculnya diskresi yang sekarang dikenal dengan ”empowering”.
Berdasarkan paham welfare state atau negara kesejahteraan, negara berusaha untuk mengatur segala urusan publik yang menyangkut dengan kebutuhan masyarakat. Namun dilihat dari kondisi geografis Indonesia dengan kultur atau budaya yang beragam maka akan lebih efektif dan efisien apabila ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal tersebut dapat bertujuan untuk memudahkan pelayanan yang diberikan negara pada masyarakat serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia maka dibentuk sebuah sistem pemerintahan desentralisasi. Sistem pemerintahan desentralisasi ini merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Di sini desentralisasi di bagi menajdi dua, yaitu desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi (dekonsentrasi).
Devolusi (political decentralization) merupakan pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung. Dalam devolusi tidak ada hirarki antara pemerintah daerah satu dengan pemerintah daerah lainnya karena yang menjadi dasar adalah koordinasi dan sistem saling hubungan antara satu unit dengan unit lain secara independen dan timbal balik. Dalam political decentralization, daerah dapat mengambil kebijakannya sendiri. Sehingga terjadi tarik ulur urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Minimnya kepercayaan pusat atas kemampuan pemerintah daerah terhadap kapabilitas dalam mengurus urusan pemerintah daerah sehingga otonomi tidak dapat dijalankan secara maksimal.
Penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah menjadi tidak logis manakala kewenangan pemerintah seharusnya berkurang namun dalam prakteknya urusan pemerintah tetap atau bisa juga bertambah. Kewenangan pemerintah pusat bertambah apabila pemerintah pusat masih tetap mengawasi urusan pemerintah daerah. Pada dasarnya pemerintah daerah tidak bisa lepas dari control dari pemerintah pusat atau sebaliknya, bahwa pemerintah pusat tidak bisa menyerahkan 100% urusan pemerintahan kepada daerah. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan bangsa dan Negara dilaksanakan secara sentralisasi, atau sepenuhnya tanggung jawab dari pemerintah pusat. Sedangkan urusan-urusan local, yang secara logis beragam sesuai dengan geografis dan kulturalnya diserahkan pada pemerintah daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat disini bukan bersifat mengekang atau membatasi tapi bertujuan untuk memperkuat otonomi.[1] Oleh karena itu pemerintah pusat melakukan pengawasan dan pembinaan agar pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembinaan dilakukan oleh pemerintah pusat kepada kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa. Pembinaan tersebut meliputi koordinasi pemerintah antar susunan pemerintahan, pemberian pedoman dan standart pelaksanaan urusan pemerintahan, pemeberian bimbingan, konsultasi urusan pemerintahan, pendidikan dan pelatihan, perencanaan, penelitian dan pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Perencanaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan. Adapun prosedur perencanaan di era otonomi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan bottom up dan pendekatan top-down. Dari dua pendekatan tersebut jelas berbeda sistematika pembuatan perencaan pembangunan. Botoom up adalah perencanaan yang dilakukan dari bawah ke atas, yaitu dimulai dari musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus) dan akhirnya sampai ke Rakorbangnas (Rapat Koordinasi Pembangunan Nasioal). Sedangkan perencanaan dengan pendekatan top-down adalah perencanaan yang dimulai dari atas ke bawah, mulai dari pembahasan oleh MPR diikuti dengan penyusunan PROPERNAS oleh pemerintah pusat untuk memberikan arahan mengenai tujuan, kebijakan, dan program pembangunan nasional. Diikuti dengan penyusunan Renstra dan Repeta. Semua pemerintah daerah diharuskan membuat POLDAS (Pola Dasar Pembangunan) sebagai induk yang menggabungkan visi, misi, arah dan pembangunan daerah dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dan akhirnya pemerintah daerah membuat PROPERDA (Program Pembangunan Daerah), Renstrada, dan Repetada untuk lima tahun ke depan,
Sedangkan Penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan asset, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), pelayanan public, dan kebijakan daerah. Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, pemerintah tersebut pemerintah pusat memberikan standart atau standarisasi program. Pedoman atau standart urusan pemerintahan yang disusun oleh Menteri Negara atau Pimpinan Pemerintah Non Departemen setelah dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri.
Dari wacana di atas, yang dapat kita simpulkan adalah bahwa kewenangan pemerintah pusat akan lebih bertambah. Karena selain pemerintah pusat mengurus urusan yang vital, semua urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan berbangsa dan  bernegara, pemerintah pusat juga berperan dalam urusan pemerintahan daerah. Disitu ada peran pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang sifatnya lebih rumit dan cakupannya luas. Kewenangan yang dimilki oleh pemerintah daerah juga dapat dikatakan bertambah karena pemerintah daerah punya wewenang dalam mengurus, mengatur dan menata pemerintahannya sendiri, meskipun masih ada pengawasan dan pembinaan dari pusat. Inilah yang menjadi ketidaklogisan penyerahan wewenang di era otonomi daerah ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ini tidak dijalankan secara sepenuhnya atau Otonomi Berat Sebelah (otonomi setengah hati).



[1] Hanif  Nurcholis, Administrasi Pemerintah Daerah,  hal  9.3

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA ~ SUKSES JADI PNS


    Assalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....

    BalasHapus