KARYA TULIS ILMIAH
MORATORIUM PNS
SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
MANAJEMEN
PEGAWAI
BAB
I
: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah memerlukan sumber daya manusia sebagai pelaksananya. Sumber
daya manusia pada Pemerintahan Daerah merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam penyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah akan dapat
diselenggarakan dengan baik sehingga tujuan dapat dicapai secara efektif dan
efisien jika didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten. Sumber daya
manusia pada Pemerintah Daerah disebut pegawai Pemerintah Daerah. Pegawai
Pemerintah Daerah disebut dengan Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah.
Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah unsur aparatur negara yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan
merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Dalam jumlah dan
susunan Pegawai Negeri Sipil yang diperlukan ditetapkan dalam formasi. Formasi
adalah penentuan jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang
diperlukan agar mampu melaksanakan tugas-tugas pokok yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang. Jumlah pegawai negeri yang diperlukan ditetapkan
berdasarkan beban kerja suatu organisasi. Formasi ditetapkan untuk jangka waktu
tertentu berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang harus dilaksanakan.
Formasi PNS pusat ditetapkan oleh MENPAN (Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara)
setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan dan pertimbangan dari Kepala
Badan Kepegawaian Negara berdasarkan usul dari pejabat Pembina Kepegawaian
Pusat. Sedangkan Formasi PNS Daerah ditetapkan oleh daerah.
Pegawai negeri menjadi
salah satu jabatan dan profesi yang paling banyak diincar oleh masyarakat umum.
Tidak peduli dari mana latar belakangnya berasal, baik dari latar belakang
pendidikan yang minim maupun dari latar belakang yang keluarganya kaya dan
berpendidikan tinggi. Banyak tenaga honorer yang telah sekian lama akhirnya
menjadi pegawai negeri. Pengangkatan tenaga honorer ini menjadi isu bahwa
menjadi penyebab mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan Moratorium
pengangkatan PNS.
Isu-isu mengenai
masalah kepegawaian khususnya mengenai pengangakatan tenaga honorer di
Indonesia saat ini menjadi suatu permasalahan yang seharusnya menjadi wacana
yang penting bagi pemerintah. Bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi dan
mengambil keputusan dalam mengatasi masalah kepegawaian. Isu-isu tenaga honorer
yang jumlahnya hampir 67 ribu pegawai yang tersebar di seluruh Indonesia akan
segera diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Isu ini berkembang di
masyarakat bahwa menjadi faktor dan penyebab kebijakan moratorium pengangkatan
PNS. Sehingga bagaimana pemerintah
menyikapi permasalahan tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk dijadikan
rumusan masalah dalam karya tulis
ini
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, karya tulis
ini merumuskan masalah, antara lain adalah:
a. Bagaimana
pemerintah melakukan Manajemen
Pegawai Negeri Sipil di daerah yang tidak sesuai dengan SKPD?
b. Fakor
apa saja yang mempengaruhi Moratorium pengangkatan PNS?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
1.3.1 Tujuan
Adapun tujuan karya tulis ini adalah untuk
memberikan gambaran atau menjelaskan kebijakan pemerintah terhadap penataan
pegawai di tingkat daerah yang jumlahnya meningkat. Selain itu juga menjelaskan
kebijakan Moratorium yang saat ini menjai isu-isu publik yang menjadi sorotan
utama bagi masyarakat. Sedangkan manfaat dari karya tulis ini adalah untuk memberikan
kontribusi kritik-kritik terhadap isu-isu yang berkembang dalam pemerintahan,
khusunya dalam hal kepegawaian.
1.3.2 Manfaat
Berdasarkan dari latar belakang dan
rumusan masalah di atas, karya tulis
ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dapat diterima oleh
semua pihak yang terkait dengan karay
tulis ini. Karya
tulis ini diharapkan akan berguna dan bermanfaat, sebagai
berikut:
a.
Secara akademis
Karya tulis ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi, rekomendasi, dan
referensi bagi penulis
berikutnya, khususnya yang berkaitan dengan konsep manajemen pegawai.
b.
Secara praktis
Dapat
memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan pemerintah
daerah khususnya dalam masalah manajemen
pegawai.
c.
Bagi individu
Diharapkan
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam mempraktikan teori-teori yang
diperoleh di bangku perkuliahan dan sekaligus sebagai salah satu upaya
pemenuhan tugas dan kewajiban dalam rangka menyelesaikan studi pada program
Studi Ilmu Administrasi Negara.
BAB
II : LANDASAN
TEORI
Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus. Konsep inilah yang
dibutuhkan terhadap suatu cara berpikir yang sistematis, logis, dan
metodologis. Untuk itu perlu adanya landasan teori atau kerangka berpikir yang
akan mendasari sebuah pemikiran. Teori adalah seperangkat konstruk/konsep
(variabel), definisi, dan proposisi yang saling terkait dan memberikan suatu
pandangan sistematik atas gejala-gejala dengan cara memetakan hubungan antara
variabel-variabel dalam rangka menjelaskan atau memberikan pemahaman atas
gejala-gejala tersebut (Kerlinger, 1979). Suatu kerangka konsep merupakan
pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit dan kerangka teoritis yang seringkali
masih bersifat abstrak. Kerangka konsep yang masih bersifat abstrak masih
diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit
dalam melakukan sebuah penelitian. Dalam karya
tulis ini, menggunakan konsepsi dasar sebagai berikut:
2.1 Konsep Kebijakan Publik
2.2
Konsep Pegawai Negeri
2.3 Konsep Moratorium PNS
2.4 Konsep Manajemen Pegawai
2.1 Konsep Kebijakan Publik
Istilah
public policy (kebijaksanaan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan
dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan,
undang-undang, ketentuan, usulan dan rancangan besar.[1]
Menurut Solichin aktor dalam pembuatan kebijakan (policy makers) dan para
sejawatnya istilah-istilah tersebut tidak akan menimbulkan masalah apapun
karena mereka menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang
berada di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut
mungkin membingungkan.
Kebijakan publik menurut Jenkins
adalah “a set of interrelated decisions
taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals
and the means of achieving them within a specified situation where these
decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve”(serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau
sekelompok aktor politik yang berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih
beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada
prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari pada aktor
tersebut)[2]
United
Nation, 1975 menyatakan bahwa kebijaksanaan berupa suatu deklarasi mengenai
suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program
mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.[3]
Seorang ahli, James E. Anderson merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah
tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor yang berkenaan dengan
adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi. Di samping konsep
tersebut juga membedakan secara tegas antara kebijaksanaan (policy) dan keputusan
(decision) yang mengandung arti pemilihan di antara sejumlah alternatif yang
tersedia. Makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa inggris ini adalah
seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda
dengan makna administration.
Yang lebih
penting, sejak periode pasca perang dunia II, kata policy mengandung makna
kebijakan sebagai sebuah rational, sebuah manifestasi dalam sebuah
pertimbangan.[4]
Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak
punya kebijakan tentang sebuah persoalan yang dihadapi di negaranya?. Sebuah
kebijakan adalah usaha untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Kebijakan mencakup seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan tampilan luar
dan tipuan (illusion) adalah beberapa unsur yang membentuk kekuasaan (power)[5]
Kebijaksanan
pemerintah haruslah baik, atau karena keinginan, pendapat dan kehendak dalam
masyarakat itu berbeda-beda, maka pengambilan keputusan haruslah sebaik
mungkin. Yang menjadi ukurannya adalah kepentingan masyarakat (public
interest).[6]
Karena pemerintah mendapat kekuasaan dari rakyatnya, dan pada hakikatnya suatu
saat pemerintah harus melakukan suatu kegiatan yang meyangkut kepentingan
rakyat. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan melalui pengambilan keputusan
(policy making) dan pelaksanaan keputusan-keputusan dalam kebijaksanaan
sebagaimana mestinya.
2.1 Konsep Pegawai Negeri
Pegawai negeri adalah unsur aparatur
negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan pada
pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan
dan pembangunan.[7]
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawian
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, untuk
mewujudkan pegawai negeri dengan kategori tersebut di atas, perlu dilakukan
pembinaan dengan sebaik-baiknya atas dasar perpaduan sistem karier dan sistem
prestasi kerja yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi peluang bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
berprestasi tinggi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan
berkompetisi secara sehat. Sebagai bagian daripada pembinaan PNS, maka
pengangkatan PNS dalam dan dari jabatan (struktural maupun fungsional) harus
didasarkan pada sistem prestasi kerja dengan penilaian yang obyektif terhadap
prestasi, dedikasi, kompetensi, pengalaman, serta pendidikan dan pelatihan
(diklat).
Dalam pengangkatan pegawai negeri sipil
baru termasuk salah satu kegiatan dalam proses pengadaan pegawai negeri sipil.
Yang dimaksud dengan pengangkatan pegawai negeri sipil, meliputi pengangkatan
pegawai negeri sipil baru, pengangkatan pegawai negeri sipil yang diberhentikan
dengan tidak hormat, pengangkatan pensiunan pegawai negeri sipil atau pensiunan
ABRI menjadi pegawai negeri sipil kembali dan pengangkatan pensiunan pegawai
negeri sipil sebagai pegawai bulanan.[8]
Pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural sudah diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No.100 Tahun 2000 jo. PP No. 13 Tahun 2003 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, dan untuk jabatan
fungsional diatur dalam PP No. 16 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil. Untuk menjamin kualitas dan obyektifitas, maka dalam pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural harus
diproses melalui suatu badan pertimbangan yang dibentuk khusus untuk itu, yaitu
Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Baperjakat ini dibentuk
pada setiap instansi baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Bahkan untuk level eselon II, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 5 Tahun 2005 tentang Pedoman Penilaian Calon Sekretaris
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di
Lingkungan Kabupaten/Kota, harus dikonsultasikan terlebih dulu kepada Gubernur.
Khusus untuk jabatan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau
Sekwan, berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 jo. No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, terlebih dulu harus mendapatkan persetujuan DPRD. Kebijakan
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan
struktural mestinya normatif, mengikuti aturan dan persyaratan yang ada, tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian.
2.2 Konsep
Moratorium PNS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
arti kata moratorium adalah penangguhan pembayaran utang didasarkan pada
undang-undang agar dapat mencegah krisis keuangan yang semakin hebat. Atau lebih gampangnya
moratorium dapat dikatakan sebagai penundaan. Selanjutnya,
yang dimaksud Moratorium PNS adalah penundaan sementara penerimaan CPNS.
Moratorium PNS ini diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan Nomor 02/SPB/M. PAN-RB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, Nomor
141/PMK.O1/2011 Tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri
Sipil.
Bahwa dalam ragka
pelaksanaan reformasi birokrasi dan mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia
serta efisiensi anggaran belanja pegawai yang telah ada perlu dilakukan
penataan organisasi dan penataan Pegawai Negeri Sipil (rightsizing) dengan cara
penundaan sementara penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Moratorium CPNS ini
dikecualikan bagi:
a.
Kementerian/Lembaga
yang:
1.
Membutuhkan PNS
untuk melaksanakan tugas sebagai:
a)
Tenaga pendidik;
b)
Tenaga dokter
dan perawat pada UPT Kesehatan
c)
Jabatan yang
bersifat khusus dan mendesak.
2.
Memiliki lulusan
ikatan dinas sesuai Peraturan Perundang-undangan.
b.
Pemerintah
Daerah yang besaran anggaran belanja pegawai di bawah/kurang dari 50% dari
total anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2011 untuk memenuhi
kebutuhan pegawai yang melaksanakan tugas sebgai berikut:
1.
Tenaga pendidik;
2.
Tenaga dokter,
bidan, dan perawat;
3.
Jabatan yang
bersifat khusus dan mendesak.
c.
Tenaga honorer
yang telah bekerja di lembaga pemerintah pada ayau sebelum tanggal 1 Januari
2005 dan telah diverifikasi dan validasi berdasarkan kriteria yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2007, sesuai dengan kebutuhan organisasi, redistribusi dan kemampuan keuangan
Negara yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pemerintah akan melakukan Moratorium atau menghentikan
sementara rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) selama 16 bulan, mulai 1
September 2011 hingga 31 Desember 2012. Dalam waktu tersebut,tidak akan ada
penerimaan PNS baru, kecuali dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dan selama masa penundaan tersebut, akan dilakukan
penghitungan jumlah kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang tepat berdasarkan
analisis jabatan dan beban kerja untuk melakukan penataan organisasi
(rightsizing) dan penataan PNS dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi.
2.3 Konsep
Manajemen Kepegawaian
UU 8/1947 tentang pokok-pokok kepegawaian dalam pasal 1
butir a mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pegawai (negeri) adalah orang
yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara
dalam suatu jabatan dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku. Menurut
UU 7/1987 butir d pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dan menerima
upah. Sedangkan pengertian tenaga kerja menurut UU 14/1969 tentang
ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja pasal 1 ialah orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna
menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan pengertian manajemen
kepegawaian, menurut
Drs. F.X. Soedjadi, M.PA. manajemen kepegawaian ialah proses kegiatan yang
harus dilakukan oleh setiap pemimpin agar tercapainya tujuan organisasi
seimbang dengan sifat, hakikat dan fungsi organisasi serta sifat dan hakikat
para anggotanya.
Society for Personal Administration di Amerika Serikat memberikan
pengertian personal manajemen sebagaimana dikutip oleh Paul Pigors dan
Charles A. Myerse dalam hubungan personal administrasion sebagai
berikut: manajemen kepegawaian adalah seni mencari, mengembangkan, dan
mempertahankan tenaga kerja yang cakap dengan cara sedemikian rupa sehingga
tujuan organisasi dan efisiensi kerja dapat tercapai semaksimum mungkin.
Menurut Drs. M. Manullang pengertian
manajemen kepegawaian adalah seni atau ilmu perencanaan, pelaksanaan, dan
pengontrolan tenaga kerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih
dahulu dengan meninggalkan keputusan hati pada diri pekerja. Atau dengan kata
lain manajemen kepegawaian adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana
memberikan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan dan rasa partisipasi pekerja
dalam suatu kesatuan aktifitas demi tercapainya tujuan.
Dari ketiga pendapat yang bervariasi itu sebanarnya mempunyai
inti atau pokok yang sama, yaitu kegairahan dan produktivitas kerja maksimum
dari anggaota organisasi yang sekaligus juga berarti mencapai tujuan organisasi
itu sendiri.
BAB
III :
PEMBAHASAN
3.1 Profil
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Berdasarkan data hasil Pendataan Ulang
Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) tahun 2003, diketahui bahwa PNS berjumlah
3.648.005 orang yang tersebar pada berbagai instansi di propinsi/kabupaten/kota.
Sekitar 23 persen PNS tersebut berada di pusat dan sisanya bertugas di daerah.
Dari sekitar 77 persen PNS di daerah, mayoritas (68,4 %) tersebar pada berbagai
instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Penyebaran PNS
berdasarkan wilayah kerja tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.
Jumlah PNS Berdasarkan Wilayah Kerja
NO
|
Wilayah Kerja
|
Jumlah
|
%
|
1
|
Pusat
|
840.007
|
23
|
2
|
Propinsi
|
311.047
|
8,5
|
3
|
Kabupaten/kota
|
2.496.951
|
68,4
|
Jumlah
|
-
|
3.648.005
|
100
|
Sumber:
Data PUPNS per Desember 2003, BKN
Berdasarkan golongan, PNS terbagi atas 4
golongan yaitu golongon I, II, III dan golongan IV. Golongan I adalah golongan
yang paling rendah sedangkan golongan IV merupakan golongan yang paling tinggi.
Seperti terlihat pada tabel 2.3. di bawah, mayoritas PNS memiliki golongan III
yakni sekitar 58, 4 persen. Kemudian persentasenya diikuti oleh PNS golongan
II, golongan IV dan yang paling kecil persentasenya adalah golongan I, yaitu
sekitar 2,4 persen.
Jumlah PNS Berdasarkan Golongan
NO
|
Golongan
|
Jumlah
|
%
|
1
|
I
|
88.836
|
2,4
|
2
|
II
|
981.010
|
26,9
|
3
|
III
|
2.129.285
|
58,4
|
4
|
IV
|
448.874
|
12,3
|
Jumlah
|
-
|
3.648.005 100
|
100
|
Sumber:
Data PUPNS per Desember 2003, BKN
Sedangkan
gambaran tentang pendidikan PNS seperti terlihat pada tabel di bawah ini memperlihatkan
bahwa terdapat sekitar 125.584 PNS yang berpendidikan SD atau sekitar 3,4
persen dari jumlah PNS keseluruhan.
Jumlah PNS Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No
|
Tingkat pendidikan
|
Jumlah
|
%
|
1
|
SD
|
125.584
|
3,4
|
2
|
SLTP
|
103.191
|
2,8
|
3
|
SLTA
|
1.394.423
|
38,2
|
4
|
Diploma I
|
56.297
|
1,5
|
5
|
Diploma II
|
586.819
|
16,1
|
6
|
Diploma III
|
288.191
|
7,9
|
7
|
Diploma IV
|
8.007
|
0,2
|
8
|
S1
|
985.427
|
27,0
|
9
|
S2
|
90.723
|
2,5
|
10
|
S3
|
9.343
|
0,3
|
Jumlah
|
-
|
3.648.005
|
100
|
Sumber:
Data PUPNS per Desember 2003, BKN
Persentase terbesar adalah mereka yang
berpendidikan SLTA yaitu sekitar 1.394.423 atau 38,2 persen. Kemudian diikuti
oleh PNS yang berpendidikan Diploma (Diploma I sampai Diploma IV) sejumlah
939.314 orang atau sekitar 25,7 persen. PNS yang berpendidikan S2 dan S3
jumlahnya masih sangat kecil yaitu sekitar 2,8 persen atau hampir sama dengan
PNS yang berpendidikan SLTP. Dilihat dari gambaran di atas, sesungguhnya
tingkat pendidikan PNS secara keseluruhan masih relatif rendah. Dari 12,3
persen PNS golongan IV, dapat dipastikan bahwa mayoritas mereka berpendidikan
S1.
3.2 Formasi Pegawai Negeri yang Tidak Seimbang
Menjadi sebuah sorotan
utama kebijakan pemerintah dalam hal formasi pegawai. Lowongan formasi dalam
satuan organisasi negara pada umumnya disebabkan oleh 2 hal, yakni adanya
pegawai negeri yang berhenti atau adanya perluasan organisasi.[9] Penyusunan
formasi harus dilakukan dengan tepat. Jika penyusunannya kurang tepat akan
menyebabkan adanya ketidak akuratan database formasi pegawai dan berdampak pada
pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam manajemen kepegawaian. Ketidak
akuratan dalam penyusunan formasi pegawai, akan berakibat pula pada kondisi
kepegawaian saat ini, disatu sisi terjadi penumpukan tenaga administrasi. Setiap
SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang ada di Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia, diminta untuk memiliki strategi efektif dalam menyusun formasi
pegawai yang benar-benar kapabel sesuai dengan standar kompetensi yang
dibutuhkan. Dengan demikian, maka akan tercipta suatu organisasi perangkat
daerah yang profesional dan mampu meningkatkan kinerja pemerintah daerah secara
menyeluruh.
Pemerintah diharapkan dapat secara
profesioanl mengangkat, memindah, dan juga memberhentikan jumlah pegawai negeri
agar menjadi rata di semua bidang. Apakah pegawai negeri di bidang
pemerintahan, bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan dalam bidang pertahanan
dan keamanan ataukah di bidang milisi lainnya. Perlu adanya pengangkatan CPNS
yang teratur dan terarah agar semuanya berjalan dengan seimbang. Dalam
menempatkan seseorang dalam jabatan atau pengangakatan pegawai dalam suatu
pekerjaan atau jabatan, pemerintah harus menggunakan prinsip “the right man
on the right place,” artinya orang yang tepat ditugaskan pada tempat yang
tepat.
Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa masalah “kompetensi” menjadi hal yang sangat
mendasar. Kompetensi PNS adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh
seorang PNS berupa pengetahuan, keahlian, dan sikap perilaku yang diperlukan
dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Pasal 3 PP No. 101/2000). Kompetensi
dikenal ada yang umum dan ada yang khusus/ bidang atau teknis. Untuk menilai
apakah seorang PNS memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan sebenarnya tidak
terlalu sulit. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan formal, diklat khusus
(fungsional dan teknis/substantif), ataupun dari pengalaman kerjanya.
Formasi pegawai yang riil sebagai satu rencana
kebutuhan akan pegawai untuk jangka waktu tertentu sebenarnya sudah ada
pedomannya dalam hal formasi pegawai negeri sipil. Pedoman tersebut menyatakan
bahwa formasi untuk masing-masing satuan organisasi, tentunya satuan organisasi
pemerintah disusun berdasarkan:
·
Jenis pekerjaan
·
Sifat pekerjaan
·
Perkiraan beban kerja
dan perkiraan kapasitas seorang PNS dalam jangka waktu tertentu
·
Prinsip pelaksanaan
pekerjaan
·
Jenjang dan jumlah
pangkat dan jabatan yang tersedia dalam satuan organisasi yang bersangkutan
·
Peralatan yang tersedia
·
Kemampuan keuangan
negara.[10]
Menurut Zainun
(1990:30) Alangkah ideal dan sempurnanya rencana atau formasi pegawai negeri
sipil ini seandainya semua syarat penyusunan formasi tersebut dapat diterapkan
dalam praktek yang sebenarnya.[11] Dari
kompetensi-kompetensi yang telah dijadikan syarat bagi calon pegawai harus
disesuaikan dengan bidang pekerjaanya. Dengan kata lain ada spesialisasi kerja.
Sehingga masalah tentang kepegawaian dapat diminimalisir dan dapat
mengantisipasi formasi yang tidak cocok dengan SKPD. Guna
mengantisipasi hal itu, Rapat Koordinasi Kepegawaian yang dilakukan pemerintah
diharapkan mendorong para pengelola administarsi kepegawaian dilingkungan SKPD
untuk menyusun formasi yang tepat dengan penekanan khusus pada tenaga teknis
strategis sesuai tupoksi organisasi dalam rangka mewujudkan kelembagaan
pemerintahan daerah yang sehat, kuat dan berorientasi kinerja. Jika terjadi
pengangkatan PNS yang tidak sesuai dengan SKPD, maka akan muncul tumpang tindih
tanggung jawab antar jabatan atau rangkap tanggung jawab, karena adanya
beberapa tanggungjawab yang tidak tercakup dalam jabatan apapun. Terjadinya
penumpukan pegawai dalam bidang administrasi membuat formasi pegawai yang tidak
seimbang. Sebaliknya, bidang teknis, seperti penyuluhan pertanian dan pelayanan
kesehatan, kekurangan pegawai.
Terjadinya kelangkaan tenaga-tenaga
teknis banyak terjadi di SKPD-SKPD yang ada di beberapa kabupaten dan kota yang
ada di Indonesia. Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian bersama, karena
secara tidak langsung akan menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan pelayanan
publik dan mengurangi kesempatan untuk membangun citra sebagai aparatur yang
kompeten dan berkualitas. Melalui verifikasi, bidang yang masih kekurangan
pegawai dan jumlah kekurangan itu dapat diketahui. Dengan demikian,
pengangkatan PNS dapat dilakukan secara tepat dan terukur.
Untuk itu, perlunya pemahaman yang
tepat dan tanggung jawab pada setiap jabatan, serta kontribusi hasil jabatan
tersebut terhadap pencapaian hasil atau tujuan organisasi. Dengan pemahaman
ini, analisis jabatan akan menjadi daftar tanggung jawab yang relevan dengan
rancangan strategi dan struktur organisasi, termasuk kewenangan, tantangan dan
hubungan kerja yang tercakup didalamnya. Prinsip-prinsip ini penting untuk
dipahami, pasalnya sering terjadi dibanyak organisasi, bahwa uraian jabatan
dibuat tanpa batasan standar jabatan yang sebenarnya dibutuhkan oleh organisasi.
Untuk
penataan pegawai dengan baik, Analisis Jabatan dan Analisis Beban Kerja mutlak
diimplementasikan. Disamping itu, guna pemerataan distribusi tenaga
pelayanan masyarakat, PNS harus bersedia ditempatkan di instansi dan wilayah di
seluruh Indonesia yang membutuhkan. Jika kebutuhan PNS di suatu daerah telah
memadai, diterapkan prinsip zero growth atau pun minus
growth. Pengangkatan PNS baru se-Indonesia harus lebih kecil
dari jumlah PNS yang pensiun pada setiap tahun. Jumlah PNS yang pensiun setiap
tahun mencapai 130.000-an orang.
3.3 APBD Pemicu Moratorium PNS
Dalam penetapan formasi, faktor
kemampuan keuangan negara adalah faktor penting yang harus selalu diperhatika.[12]
Di banyak daerah, belanja gaji PNS sangat memberatkan sebab mencapai sekitar
separuh APBD. Situasi ini membuat pemerintah daerah selalu kekurangan dana
untuk membiayai pembangunan. Prihatin dengan hal itu, pemerintah pusat merasa
perlu menerapkan penundaan sementara (moratorium) penerimaan PNS yang dilakukan
oleh pemerintah daerah. Moratorium
pengangkatan PNS, tidak diartikan sebagai penghentian total perekrutan. Moratorium
lebih diartikan sebagai perekrutan yang jauh lebih ketat dan terarah.
Moratorium dilakukan untuk penataan
pegawai negeri daerah yang jumlahnya telah membengkak. Apalagi pada bidang
pekerjaan administrasi di semua daerah yang jumlahnya telah membengkak. Hal ini
disebabkan karena formasi PN tidak cocok dengan kompetensi calon PN sehingga
terjadi penumpukan pegawai di bidang administrasi atau tidak sesuai dengan
SKPD.
Walaupun
moratorium penerimaan PNS dilakukan pada 1 September 2011 hingga 31 Desember
2012, penerimaan PNS masih dilakukan untuk beberapa formasi yang
dibutuhkan masyarakat, seperti pegawai di sektor pelayanan masyarakat dan
pendidikan. Beberapa formasi tersebut adalah: guru, sipir (petugas penjaga di
lembaga pemasyarakatan) , dan dokter. Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas) menjamin pengangkatan guru dan dosen tetap akan
berlangsung walau ada moratorium pegawai negeri sipil (PNS).
Mendiknas menjelaskan, pengangkatan itu tidak sembarang dilakukan karena proses perekrutannya akan disesuaikan dengan kebutuhan bidang yang diperlukan. Selain itu, juga disamakan dengan jumlah kebutuhan guru di suatu daerah. Daerah sendiri yang akan mengusulkan berapa guru yang akan diangkat selanjutnya dan akan dicocokkan dengan data guru yang ada di Kemendiknas. Adapun kriteria dan syarat penerimaan CPNS bagi jabatan yang bersifat khusus dan mendesak ditetapkan oleh Tim Reformasi Birokrasi. Selain itu, untuk pengadaan PNS daerah dari jalur pelamar umum, Pemerintah Derah (Pemda) hendaknya berkoordinasi dengan DPRD.
Mendiknas menjelaskan, pengangkatan itu tidak sembarang dilakukan karena proses perekrutannya akan disesuaikan dengan kebutuhan bidang yang diperlukan. Selain itu, juga disamakan dengan jumlah kebutuhan guru di suatu daerah. Daerah sendiri yang akan mengusulkan berapa guru yang akan diangkat selanjutnya dan akan dicocokkan dengan data guru yang ada di Kemendiknas. Adapun kriteria dan syarat penerimaan CPNS bagi jabatan yang bersifat khusus dan mendesak ditetapkan oleh Tim Reformasi Birokrasi. Selain itu, untuk pengadaan PNS daerah dari jalur pelamar umum, Pemerintah Derah (Pemda) hendaknya berkoordinasi dengan DPRD.
Konsekuensi
dari pemakaian anggaran yang terlalu besar adalah dicetuskannya kebijakan
moratorium pengangkatan pegawai negeri. Dalam kebijakan moratorium ini
diharapkan adanya efisiensi dan efektifitas. Apalagi sudah ada pemakaian ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) maka, beban biaya untuk pegawai tidak akan
tersedot karena sudah ada intervensi teknologi tersebut.
3.4 Moratorium PNS dalam Kekuasaan Politik
Belanja pegawai yang besar dengan
sendirinya mengurangi belanja modal yang dapat dialokasikan bagi pembangunan
infrastuktur dan fasilitas publik lainnya. Ini secara umum terlihat pada
kondisi fasilitas umum yang tidak layak di hampir semua daerah. Seperti:
kerusakan jalan yang terjadi hampir disetiap propinsi. Sekolah atau
jembatan yang hampir roboh pun menjadi berita di banyak media massa. Sekitar 20
sampai 30 persen dari belanja modal yang dilaksanakan melalui pengadaan
barang/jasa, menjadi celah-celah bagi para koruptor untuk menggelapkan dana
belanja modal.
Pada saat yang sama pemerintah juga
harus menaikkan gaji PNS. Ini sudah dilakukan hampir selama lima tahun
terakhir. Juga kebijakan gaji ke 13 yang hampir enam tahun berturut-turut
diberikan. Ditambah lagi renumerasi yang secara bertahap yang telah
dilaksanakan di sejumlah kementerian. Tiga kebijakan itu secara kumulatif
meningkatkan beban anggaran negara dengan sangat signifikan. Semula kebijakan
ini berlatarbelakang reformasi. Meskipun faktanya dari reformasi tersebut hanya
menambah kasus-kasus yang membuat penduduk dan masyarakat awam semakin tidak
percaya dengan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Korupsi masih menggerogoti
hampir di semua sataf dan unit tingkatan
dalam birokrasi.
Ini semua karena pengangkatan PNS
memang tidak lepas dari kebijakan politik kekuasaan partai penguasa sejak awal
pemerintahan. Kebijakan ini pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa PNS
menjadi tak efektif. Salah satunya karena kebijakan pengangkatan tenaga honorer
tanpa proses seleksi. Satu tahun sejak saat terpilihnya SBY sebagai presiden,
hal pertama yang dipikirkannya adalah mengamankan posisi kekuasaannya pada
pilpres berikutnya tahun 2009. Politik kekuasaan itu langsung dituangkan dengan
terbitnya PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan (tanpa seleksi) berlaku bagi semua tenaga
honor yang diangkat sebelum 2005 dan ditargetkan selesai tahun 2009.
Kebijakan pengangkatan PNS tanpa
seleksi bagi tenaga honor jelas menjadi kebijakan politik kekuasaan yang
sekaligus menjadi strategi bagi politik birokrasi pemerintah. Banyaknya pintu
dan tidak adanya standar seleksi menjadikan seorang kepala satuan kerja dengan
mudah memasukkan siapa saja yang dikehendaki untuk direkrut menjadi tenaga
honorer. Pada situasi ini faktor kekerabatan menjadi sangat menonjol. Atau jika
dia orang lain, imbalan dapa menjadi latar belakangnya. Pada situasi ini dapat
kita bayangkan bagaimana kualitas hasil rekrutan yang hampir tanpa seleksi.
Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan
harus dilakukan berdasarkan dengan prinsip profesionalisme sesuai dengan
kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan
tersebut. Serta syarat obyektifitas menjadi salah satu perhatian dalam
pengangkatan PNS. Tanpa membedakan jenis kelamin, agama, ras atau golongan.
Syarat obyektif lainnya adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian,
pengalaman, kerja sama, dan kredibelitas. Hal-hal tersebut seharusnya menjadi
syarat dan penentu pengangkatan PNS sehingga pengangkatan PNS dapat terarah
sesuai dengan kompetensi. Lagi-lagi kekuasaan politik lah yang menjadi juara
dalam hal pemerintahan. Banyak pegawai yang tidak seharusnya menjadi PNS, lolos
begitu saja karena adanya politisasi prosedur yang berlaku. Sehingga KKN tetap
saja ada dan telah membudidaya karena politisasi birokrasi.
BAB IV : PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dalam
pembahasan karya tulis ini ada
beberapah hal penting dan menjadi kesimpulan dalam penutup, yaitu:
·
Pegawai negeri menjadi sumber daya
manusia yang sangat berperan dalam proses pemerintahan di Indonesia. Karena
peran yang penting tersebut PN harus diangkat sesuai dengan kompetensi dan SKPD
tertentu. Faktanya bahwa banyaknya pegawai negeri yang tidak sesuai dengan SKPD
menyebabkan ketidakakuratan database kepegawaian dan terjadinya formasi pegawai
yang tidak seimbang. Di satu bidang tertentu pegawai negeri jumlahnya sangat
banyak karena adanya penumpukan pegawai. Dalam bidang lainnya terjadi
kekurangan pegawai.
·
Munculnya kebijakan Moratorium
pengangkatan PNS menjadi konsekuensi dari pembiayaan belanja pegawai yang
jumlahnya membebani APBN. Sehingga perlua ada penghentian sementara
pengangkatan PNS. Akan tetapi ada bidang-bidang tertentu yang tetap ada
pengangkatan PNS. Moratorium lebih diartikan sebagai perekrutan yang jauh
lebih ketat dan terarah. Agar penataan pegawai berjalan dengan baik dan
meminimalisir KKN.
4.2
Kritik dan Saran
Dalam pengambilan keputusan untuk
membuat suatu kebijakan publik perlu memperhatikan, menimbang, dan memutuskan
kebijakan yang membawa manfaat bagi publik. Khususnya menyangkut masalah
kepegawaian yang berdampak pada pembangunan negara. Implikasi dari keputusan
negara diharapkan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat pada umumnya.
Kebijakan publik yang telah menjadi
keputusan para aparat pemerintah harus diwujudkan dengan prosedur yang sesuai
dengan kebijakan tersebut. Sehingga output yang diberikan juga memberikan
persepsi dan partisipasi yang baik dari
masyarakat. Output kebijakan badan-badan pelaksana harus sesuai dengan
tujuan formal undang-undang. Melakukan rekrutmen pegawai negeri sipil secara
selektif dan dengan standar kelulusan yang lebih tinggi dalam rangka
mendapatkan pegawai negeri sipil yang lebih berkualitas. Namun demikian, selama
proses pembaharuan ini diintrodusir, sebaiknya rekrutmen pegawai negeri sipil
untuk sementara dihentikan dulu.
[1] Solichin Abdul Wahab,
Analisis Kebijaksanaan (Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara),
hal. 11
[2] Jenkins, Policy Analysis, hal.
15
[3] Solichin Abdul Wahab,
Analisis Kebijaksanaan (Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara),
hal. 12
[4] Parsons, Public Policy
(Pengantar Teori dan Analisis Kebijakan), hal. 15
[5] Ibid, hal. 16
[6] Soenarko, Public Policy
(Pengertian Pokok Untuk Memahami Dan Analisa), hal. 45
[7] Muchsan, Pengangkatan dalam
Pangkat Pegawai Negeri Sipil, hal. 6
[8] Ibid, hal. 38
[9] Muchsan, Pengangkatan dalam
Pangkat Pegawai Negeri Sipil, hal. 20
[12] Muchsan, Pengangkatan dalam
Pangkat Pegawai Negeri Sipil, hal.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar